Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik Jumlah Pimpinan MPR...

Kompas.com - 13/08/2019, 07:58 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kursi Pimpinan MPR jadi rebutan partai politik usai pemilu. Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjadi dua parpol yang paling kentara menyuarakan keinginan duduk di kursi Pimpinan MPR. 

Di tengah riuhnya berebut kursi, ada usulan dari Wakil Sekretaris Jenderal MPR, Saleh Partaonan Daulay. Saleh menyarankan agar kursi Pimpinan MPR dibagi habis untuk seluruh parpol yang lolos parlemen plus perwakilan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 

Artinya, jumlah Pimpinan usulan Saleh 10 kursi. Saleh menyebut, usulan itu salah satunya agar meredam perebutan kursi pimpinan MPR.

"Tentu sangat baik jika pimpinan yang akan datang disempurnakan menjadi 10 orang dengan rincian sembilan mewakili fraksi-fraksi dan satu mewakili kelompok DPD. Soal siapa ketuanya, bisa dimusyawarahkan untuk mencapai mufakat," kata Saleh dalam keterangan tertulis, Senin (12/8/2019).

Baca juga: Wasekjen PAN Usul Jumlah Pimpinan MPR 10 Orang

Menurut Saleh, kursi Pimpinan jadi 10 kursi merupakan salah satu wujud untuk rekonsiliasi politik. Ia pun berharap pemilihan pimpinan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat.

Diketahui, MPR telah dua kali merevisi UU MD3. Saat ini, komposisi pimpinan MPR mengacu pada UU MD3 Nomor 17 tahun 2014, berjumlah 8 orang.

Namun, revisi UU MD3 Nomor 2 Tahun 2018, pimpinan MPR periode 2019-2024 terdiri atas 1 orang ketua dan 4 wakil yang terdiri atas unsur fraksi parpol dan perwakilan DPD.

Respons parpol

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon merespons positif usulan Saleh. Menurut Fadli, apabila hal tersebut diimplementasikan maka semua fraksi mendapat jatah kursi pimpinan MPR.

Namun, ia mengatakan, seluruh partai harus bermusyawarah dan mendukung hal tersebut.

Baca juga: Fadli Zon Setuju Usulan Wasekjen PAN soal Pimpinan MPR Jadi 10 Orang

"Kita (Gerindra) lihat opsi itu semuanya terbuka, dengan opsi semua terwakili atau dengan paket saya kira kita ikut semua opsi itu," kata Fadli saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (12/8/2019).

Politisi PDI-P Hendrawan Supratikno menolak usulan itu. Hendrawan menuturkan, sebaiknya seluruh parpol menjalankan UU MD3 yang telah direvisi sebanyak dua kali.

Baca juga: Hendrawan Supratikno: Masak MD3 Direvisi Lagi Demi Libido Politik?

Hendrawan mengatakan, sulit mengakomodasi revisi UU MD3 untuk libido politik kelompok tertentu. 

"Enggak. Kita jalankan dulu UU MD3 yang sudah dua kali direvisi lho. Jadi dengan dua kali direvisi UU MD3, masak kita revisi lagi hanya untuk mengakomodasi naluri, libido politik," kata Hendrawan di Jakarta, Senin (12/8/2019).

Senada, Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate mengingatkan, revisi UU MD3 jangan hanya untuk mengejar kedudukan dan kekuasaan parpol.

"Satu UU jangan sampai terlalu pragmatis, setiap kali, apalagi UU MD3. hanya untuk kekuasaan di DPR atau MPR atau di DPD kita ubah aja seenaknya sesuai dengan hasil pemilu, tanpa ada kajian," kata Johnny.

Baca juga: Airlangga Sebut 4 Parpol Sepakat Bentuk Paket untuk Pimpinan MPR

Johnny mengatakan, partainya belum membicarakan lebih lanjut untuk merevisi UU MD3. Saat ini, kata Johnny, partainya sepakat untuk menjalankan UU MD3 yang telah ada.

"Kami belum berbicara terkait revisi UU MD3  ya. Yang ada kami punya komitmen untuk melaksanakan UU MD3 yang sudah kita sepakati bersama," ujarnya.

Tergantung kesepakatan

Pakar Hukum dan Tata Negara Mahfud MD mengatakan, pasal yang mengatur Pimpinan MPR pada UU MD 3 bisa direvisi dalam waktu relatif singkat.

Revisi bisa direalisasikan sebelum masa jabatan DPR periode saat ini berakhir. Syaratnya, seluruh parpol sepakat. 

Mahfud MD saat melihat Pameran Masa Depan Islam di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin (15/7/2019).KOMPAS.com/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA Mahfud MD saat melihat Pameran Masa Depan Islam di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin (15/7/2019).
"Itu kan soal kesepakatan Politik ya, artinya kalau disepakati (revisi UU MD3) lalu dituangkan dalam UU itu selesai. Tinggal persoalannya setuju atau tidak parpol itu, itu saja," kata Mahfud.

Mahfud mengakui, merevisi UU MD3 secara mendadak dan dalam tempo yang singkat biasanya dilakukan untuk kepentingan kekuasaan politik. Namun, kata dia, setiap partai memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat posisi kursi pimpinan MPR.

Baca juga: Mega Ingin Pimpinan MPR Dipilih Aklamasi, PDI-P Buka Pintu Bagi Koalisi Adil Makmur

"Sudut politik kan beda-beda. Tapi saya bicara normanya saja. Kalau mau ditambah harus mengubah undang-undang," ujarnya.

Mahfud mengatakan, apabila seluruh parpol menyetujui penambahan kursi pimpinan MPR, revisi pasal dalam UU MD3 itu dapat dilakukan dalam satu pekan.

"Ya bisa seminggu. Yang menambah jabatan kursi tahun 2015 itu kan. Itu buru-buru, selesainya sebentar. Tergantung kesepakatan," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com