JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi II DPR RI Zainuddin Amali mengaku, sebenarnya mendukung wacana diterbitkannya larangan bagi mantan koruptor mencalonkan diri pada Pilkada 2020 mendatang.
Namun, Zainuddin berpendapat bahwa aturan itu akan sulit disahkan. Sebab, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota tetap memperbolehkan siapapun warga negara untuk menggunakan hak dipilihnya.
"Ini sama ketika kita membicarakan eks koruptor untuk nyaleg. Saya sudah bilang pasti ini akan susah karena undang-undangnya memperbolehkan. Undang-undang yang digunakan pada Pilkada 2020 masih gunakan yang nomor 10 tahun 2016. Di situ diperbolehkan," ujar Zainuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Baca juga: Wakil Ketua Komisi II: Larangan Eks Koruptor Ikut Pilkada Dibahas Usai Reses
Apabila KPU tiba-tiba membuat aturan sendiri mengenai larangan koruptor menjadi calon kepala daerah, Zainuddin memastikan, hal itu bertentangan dengan UU Pilkada. Artinya, dapat dengan mudah ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
"Kemudian kita coba berimprovisasi membuat PKPU yang berbeda dengan norma yang ada di UU. Begitu masuk ke MA dibatalkan lagi," ujar dia.
Satu-satunya jalan, undang-undang tersebut harus direvisi. Namun, politikus Partai Golkar itu mengingatkan bahwa revisi sebuah undang-undang membutuhkan waktu yang lama.
Apalagi, masa jabatan anggota DPR RI periode 2014-2019 akan segera berakhir pada bulan Oktober 2019 mendatang.
"Menurut saya, kita ini agak dilema. Mau mengubah UU waktunya sudah mepet dan saya enggak yakin kalau kita mengubah satu pasal, kemudian hanya satu pasal itu. Pasti ada rembetannya lagi ke pasal lain," lanjut dia.
Baca juga: ICW: Larangan Eks Koruptor Nyalon Sebaiknya Diatur dalam Perppu
Diberitakan sebelumnya, KPU akan menggulirkan wacana larangan mantan narapidana korupsi mencalonkan diri pada Pilkada 2020.
Menurut salah seorang komisioner, Pramono Ubaid Tanthowi, untuk kembali menggulirkan gagasan tersebut, harus ada sejumlah hal yang dibenahi
Jika tidak, sudah pasti Mahkamah Agung (MA) akan kembali menolak larangan eks koruptor maju sebagai peserta pemilu seperti yang terjadi pada 2018.
"Kalau misalnya KPU luncurkan, tuangkan dalam peraturan KPU (PKPU), kemudian nanti ada calon kepala daerah yang berstatus napi, lalu gugat ke MA, sudah bisa diduga (PKPU itu) dibatalkan. Itu kan problem real yang kita hadapi ke depannya," ujar Pramono.
Pramono mengatakan, salah satu alternatif yang bisa digunakan adalah revisi UU Pilkada dengan dukungan pihak-pihak terkait.
"Sekurang-kurangnya kalau KPU mengusulkan di Peraturan KPU tentang pencalonan Bupati, Wali Kota dan Gubernur, fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah mendukung," kata Pramono.
"Dengan begitu, setidaknya dukungan politik dari pemerintah dan DPR, bahwa mereka tidak akan mencalonkan napi koruptor dalam Pilkada 2020 karena proses pencolanan dalam Pilkada itu kan oleh DPP (partai)," lanjut dia.