JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat kepemiluan dari KoDe Inisiatif Veri Junaidi menilai, bukti yang diajukan tim hukum pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kurang kuat dalam gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres.
"70 persen permohonan tim 02 di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak cukup meyakini bahwa yang didalilkan benar terjadi," ujar Veri dalam sebuah diskusi di kantor Formappi, Jakarta Timur, Kamis (13/6/2019).
Bukti-bukti yang diajukan tim hukum Prabowo-Sandiaga tidak cukup kuat untuk bisa menang PHPU di MK. Pelanggaran yang dianggap terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pun tak terlihat.
Baca juga: Komisioner: BPN Aneh, Tiba-tiba Sebut KPU Menggelembungkan Suara...
Jika ingin membuktikan adanya kecurangan TSM, kata Veri, tim hukum Prabowo-Sandiaga harus membuktikan apakah ada bukti primer terkait perintah untuk memenangkan kandidat tertentu.
Misalnya, ada surat tugas atau bukti lain yang menunjukkan memang ada perintah untuk memenangkan kandidat tertentu. Lalu, kalau betul ada, harus ada bukti juga bahwa perintah itu dilaksanakan.
Hanya saja, Veri mengingatkan bahwa dalam sengketa pilpres di MK yang diperkarakan adalah perselisihan hasil, bukan pelanggaran.
"Logika yang dibangun di MK juga bukan logika pelanggaran, tapi logika perselisihan hasil," tegasnya.
Baca juga: BPN Prabowo-Sandiaga Minta Para Komisioner KPU Diberhentikan, Ini Tanggapan Arief Budiman
Adapun dalam berkas pemohonan sengketa pilpres yang diserahkan BPN ke MK, terdapat dalil yang menuding pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin telah melibatkan ASN untuk kepentingan pemilu.
Dalil tersebut tertera dalam bagian "Tentang Kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif: Penggunaan Birokrasi dan BUMN."
Dalam dalilnya, BPN menyinggung pernyataan sejumlah Menteri Jokowi, seperti Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.
Pernyataan para menteri yang dicantumkan ini dikutip dari pemberitaan media online.