SELEPAS perhelatan pemilu Presiden dan legislatif tanggal 17 April 2019 kita menghadapi situasi yang irasional dan abnormal. Situasi ini tergambar dari sejumlah isu pemilu yang ‘serius’ hingga yang terkesan ‘lucu’.
Lorens Bagus (1996) dalam kamus filsafat mendefinisikan irasional adalah situasi kacau yang tidak dapat diungkapkan sebagai tata atau susunan yang bisa dipahami.
Sedangkan terkait prilaku berpendapat Abnormal Richard C. Atiknson dan Ernest R. Hilgard (1983) adalah perilaku yang menyimpang dari norma sosial.
Karena setiap masyarakat mempunyai patokan atau norma tertentu, untuk perilaku yang sesuai dengan norma maka dapat diterima, sedangkan perilaku yang menyimpang secara mencolok dari norma ini dianggap abnormal.
Perilaku yang dianggap normal oleh suatu masyarakat mungkin dianggap tidak normal oleh masyarakat lain, jadi gagasan tentang kenormalan atau keabnormalan berbeda dari satu masyarakat lain dari waktu ke waktu dalam masyarakat yang sama.
Sebut saja dalam kategori serius adalah perdebatan terkait hasil real count (RC) dan quick count (QC), hingga saat ini masih ada orang berkehendak berdasarkan apa yang menjadi keyakinan pilihannya bukan berdasarkan pengetahuan empiriknya.
Menggangap bahwa apa yang terjadi tidak seperti apa yang diprediksi, begitupun sebaliknya. Satu sama lain nampak berargumentasi, namun beberapa saat kemudian ketika dikonfirmasi ternyata miskin narasi dan data.
Isu pasca pemilu yang termasuk dalam kategori ‘lucu’. Salah satu yang muncul di permukaan adalah ada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia yang digugat dalam pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah karena menggunakan foto yang diedit sedemikian rupa hingga sangat cantik, berbeda dengan aslinya.
Berdasarkan observasi dan survei sederhana menjadi musabab banyak pemilih menjatuhkan coblosannya pada calon senator tersebut.
Evi Apita Maya, nomor urut 26 meraih suara 283.932 suara, tertinggi dalam pemilihan calon DPD RI dari Nusa Tenggara Barat (NTB).
Soal foto Evi Apita Maya menjadi salah satu sorotan penggugat karena dianggap adanya pemalsuan dokumen atau gambar penggunaan foto.
Hal ini ternyata terkonfirmasi di warga yang mengaku memilih anggota DPD yang fotonya cantik karena tak mengenal seluruh calon anggota DPD. Lucu, kan?
Baca juga: Berebut Kursi DPD di NTB: Mantan Istri TGB Kalah, hingga Evi Apita Menang Karena Foto Cantik
Menukar prasangka ilmiah
Dari sejumlah kejadian ‘serius’ dan ‘lucu’ kita meneropong kesimpulan akhir bahwa ada ironi yang lebih dalam, helatan besar berbiaya tinggi ini telah banyak menelan korban jiwa lebih dari 500 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Sedihnya jumlah korban yang besar ini miskin perhatian dari elit penyelenggara pemilu, buktinya tidak ada komisioner yang mundur karena merasa bersalah atas kematian putra-putri bangsa pejuang demokrasi ini.