Beragam contoh fenomena tersebut terserak dan mudah ditemukan dalam kehidupan pasca-pemilu. Proses mencari-cari kesalahan dan kelemahan datang silih berganti, hilir mudik diruang publik.
Ironisnya situasi ini tidak hanya melibatkan mereka yang tertinggal informasi, namun ternyata terjadi pada insan cerdik cendekia. Beberapa analis menyebut fenomena ini sebagai post-truth. Era post-truth, menurut J.A. Llorente, merupakan “iklim sosial-politik” di mana objektivitas dan rasionalitas dikalahkan oleh emosi atau hasrat yang lebih memihak ke keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda” (2017: 9).
Adapun istilah post-truth, menurut McIntyre, sebetulnya lahir dari keprihatinan orang-orang yang penuh perhatian terhadap konsep kebenaran dan merasa bahwa kebenaran sedang diserang dan dilecehkan (McIntyre, 2018: 6).
Mereduksi Polarisasi
Kita berpikir bahwa era polarisasi akan berakhir selepas pemilu tanggal 17 April 2019, ternyata faktanya dalam beberapa simpul justru makin menguat dan cenderung mengeras.
Menganggap apa yang datang dari pihak yang bersebrangan salah dan wajib ditentang. Kebenaran didominasi oleh ‘aku’ bukan ‘kamu’, terlebih ‘kita’. Hingga pada titik nadir takaran ilmiah tidak punya otoritas menentukan kebenaran.
Kriteria kebenaran mendasarkan pada informasi yang mendukung keyakinan subjek. Jadi post-truth bukan mengabaikan fakta, tetapi pembusukkan proses agar fakta yang telah dikumpulkan melalui proses kredibel dan bisa diandalkan justru hanya untuk membentuk keyakinan seseorang/kelompok tentang realitas (McIntyre, 2018: 11).
Dengan demikian post-truth tidak mengatakan bahwa fakta tidak ada, tetapi fakta harus tunduk kepada sudut pandang politik saya. Maka ketika keyakinan seseorang terancam oleh fakta yang dianggap tak sesuai, lebih baik mempertanyakan fakta itu (McIntyre, 2018:13).
Kita harus hentikan kekacauan ini, sekecil apapun usaha kita. Bisa jadi situasi ini menjadi tren global, tapi harus ada usaha untuk memitigasi dan mereduksi sejak awal. Anak bangsa ini punya sejarah panjang tentang kelapangan jiwa dan pengabaian dendam.
Jika kita mau sejenak reflektif dan saling menukar perasaan, atas apa yang sedang diperjuangkan selama ini hampir tidak ada perbedaan prinsip. Hanya pendekatan dan caranya saja yang tidak sama.
Sumbu pengetahuan harus murni dan benar, sebagaimana suluh keyakinan harus dibangun dengan analogi yang ilmiah. Saling melengkapi dan memberi makna positif, tidak menegasikan apalagi melakukan pembusukan. J
ika tidak pandai-pandai mengelola konflik ini, bukan tidak mungkin kita akan mengalami stagnasi massal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.