Sedihnya jumlah korban yang besar ini miskin perhatian dari elit penyelenggara pemilu, buktinya tidak ada komisioner yang mundur karena merasa bersalah atas kematian putra-putri bangsa pejuang demokrasi ini.
Bisa dibayangkan jika ini terjadi di Negara seperti Jepang, tentu jiwa tidak bisa lapang menerima kondisi tersebut.
Syahdan, di area kontestasi proses irasionalitas juga terjadi tidak kalah seru, di mana pihak yang merasa menang memandang tragedi masal tersebut sebagai peristiwa kematian biasa. Sebuah suratan takdir, sudah waktunya dan tidak usah dibahas.
Mereka lupa bahwa kompetisi ini bukan soalan menang dan kalah, namun juga terkait keberlangsungan napas bangsa setelah kontestasi.
Dus, di pihak yang berseberangan tidak kalah ‘nir-empati’, menganggap kematian KPPS sarat rekayasa dan konspirasi. Hingga pada akhirnya juga memunculkan swak prasangka liar bahwa mereka diracun, disantet hingga sejenisnya.
Di titik ini kita menyadari bahwa pemilu telah menaruh pengetahuan dan nilai-nilai kebaikan dibelakang kepala, sedangkan sinisme menjadi panglima utama yang menjadi dasar sorotan mata.
Dari realitas ini saja kita bisa bisa menebak, bahwa semua pihak sama-sama memiliki masalah dalam keberpihakan: ‘empati yang buruk’. Ekspresinya tergambar dari sikap irasional.
Kita sempat berpikir kaum akademisi mampu meredam gejolak irasionalitas ini, ironisnya justru dalam perkembangannya mereka menjadi bagian paling giat dan serius dalam mereproduksi pesan-pesan irasional ini. Padahal ada adagium bahwa ‘Ilmuwan boleh salah tapi tidak boleh bohong’.
Namun kini rasa-rasanya kita mulai kesulitan membedakan keduanya, garis demarkasi sungguh sangat tipis.
Parahnya, hoaks semakin menyuburkan polarisasi masyarakat karena meneguhkan keyakinan/ideologi masing-masing kelompok. Setiap kelompok cenderung menolak bentuk penalaran berbeda, meski masuk akal atau objektif.
Kebohongan menyuburkan ideologi (Haryatmoko, 2019). Tragisnya lagi atas sejumlah fenomena itu, bukan hanya berbuah keprihatinan, namun juga ternyata menghasilkan perilaku pengerasan diranah eksekutif.
Menko Polhukam, Wiranto membentuk Tim Hukum Nasional untuk mengkaji atau memantau tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah ke perbuatan melawan hukum.
Baca juga: Tim Hukum Bentukan Wiranto Mulai Bekerja, Pemerintah Makin Mantap Tindak Perilaku Inkonstitusional
Mungkin bisa jadi esensi awal pembentukannya baik, namun jika tidak hati-hati tim ad-hoc ini dikhawatirkan pada akhirnya akan menjadi aras pemukul atas pendapat yang tidak seragam.
Padahal tugas itu sudah cukup bisa dilakukan oleh penegak hukum tradisional, asal mereka mau serius dan adil. Signal yang harus diwaspadai oleh siapapun, baik lawan maupun kawan.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan