Memang begitulah, ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, maka rasionalitas, etika dan norma cenderung membusuk dan terabaikan.
Secara politis, obsesi kekuasaan adalah untuk dapat seterusnya memerintah dan menjadikan kekuasaan itu absolut, biarpun sang penguasa sama sekali tidak dihormati.
Kekuasaan eksis di atas pihak yang sengaja ditekan, diancam, dieksploitasi, dan dirampas habis eksistensinya.
Donald K Emmerson (2001) mencatat banyak cara yang dilakukan oleh pemimpin (penguasa) untuk menguasai rakyat. Di antaranya dengan cara membentuk aparatur dan seperangkat lembaga otoriter yang mengontrol dan mengekang partisipasi rakyat dan meminggirkannya dari pusat pengambilan keputusan.
Kekuasaan negara yang represif dan dominatif, bukan saja gagal membangun kultur demokrasi, tetapi secara sistematis menindas kemanusiaan dan merusak solidaritas sosial.
Oleh karena itu, kita mengubah makna kepemimpinan, bukan lagi sebagai kekuasaan tetapi kepemimpinan adalah pelayanan. Memimpin pada hakekatnya adalah melayani.
Melayani rakyatnya untuk memecahkan berbagai persoalan hidup, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dalam berbagai kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang bertalian dengan konsepsi bahwa kepemimpinan adalah pelayanan.
Pertama, kepemimpinan yang melayani selalu mengandaikan bahwa suatu pekerjaan dilaksanakan dengan penuh kemudahan.
Siapa pun orangnya yang memposisikan diri sebagai pelayan selalu ingin mempercepat dan mempermudah proses pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya, agar segera selesai dan memuaskan pihak yang dilayani.
Pemimpin dengan posisi ini, akan mendapat sambutan baik dan kecintaan dari orang yang dipimpinnya. Sebaliknya jika pemimpin yang menempatkan diri sebagai berkuasa, mereka akan mempersulit dan cenderung menghindar dari tanggung jawabnya.
Kedua, kepemimpinan pelayanan selalu terkait dengan penghormatan dan penghargaan terhadap orang lain yang dilayani. Hal ini berarti pemimpin yang berusaha semaksimal mungkin mengembalikan supremasi aspirasi publik.
Keinginan untuk menjadi negara yang demokratis hanya mungkin terwujud apabila secara intensional ada usaha mengembalikan aspirasi publik sebagai yang utama.
Namun sayangnya, penghormatan kepada orang lain (rakyat) merupakan salah satu sikap yang terus melemah di kalangan pemimpin. Feodalisme kekuasaan masih begitu kental menjadi ciri kepemimpinan politik.
Ketiga, konsepsi kepemimpinan yang bermakna melayani juga mensyaratkan adanya sikap proaktif atau mendatangi rakyat (blusukan). Pemimpin yang baik dan mecintai rakyatnya adalah pemimpin yang senang turun ke bawah.
Tidak hanya dilakukan dengan cara berkunjung secara fisik, tetapi lebih dalam pengertian kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan harus benar-benar diorientasikan untuk kesejahteraan rakyatnya. Ini berarti harus terjadi pemerataan ekonomi dan melibatkan partispasi dan peran serta rakyat bawah.