Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saatnya Memilih Pemimpin

Kompas.com - 16/04/2019, 23:34 WIB
Amir Sodikin

Editor

Oleh Sunanto*

RABU 17 April 2019, segenap warga negara Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum (pemilu). Kita mengenal Pemilu sebagai hajatan nasional terbesar dan menjadi bagian dari proses demokratisasi terpenting bagi bangsa Indonesia.

Setiap warga negara harus menggunakan hak pilihnya dan menununjukkan kepedulian dalam menentukan arah perjalanan bangsa lima tahun yang akan datang. 

Setiap warga negara wajib mengambil peran dengan cara berpartisipasi secara aktif dengan cara mendatangi tempat-tempat pemungutan suara untuk memilih pemimpin bangsa, baik pemimpin eksekutif maupun pemimpin legistlatif atau para wakil rakyat yang akan duduk sebagai anggota dewan.

Tidak dapat dihindari bahwa proses demokratisasi di mana pun selalu terkait dan dipengaruhi oleh kepemimpinan.

Baca juga: Pertanyaan Seputar Pemilu 2019 dan Jawabannya

Penegasan bahwa kepemimpinan sangat mempengaruhi proses demokratisasi bukan tanpa alasan. Karena dalam proses pengelolaan negara demokrasi kebijakan-kebijakan politik dan kebijakan yang menyangkut ke segenap perundang-undangan akan dilakukan mereka yang terpilih sebagai pemimpin dan orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan.

Di mana-mana kepemimpinan ini selalu menjadi persoalan yang paling menarik dan banyak diperebutkan, terlebih di negara-negara yang sedang mengalami masa transisi menuju demokrasi.

Persoalannya adalah kepemimpinan semacam apakah yang dapat mengantarkan dan menjamin tegaknya tatanan negara dan masyarakat yang demokratis?

Di sinilah letak pentingnya untuk terus saling mengingatkan tentang pemahaman hakikat dan fungsi kepemimpinan tersebut.

Bila para pemimpin atau orang yang diamanati untuk memimpin rakyat dan menjadi penyambung lidah rakyat salah dan sewenang-wenang memahami kepemimpinan, maka akan berakibat fatal bagi proses penegakan nilai-nilai demokrasi yang dicita-citakan.

Oleh karena itu untuk mendapat pemimpin yang demokratis dan berpihak kepada rakyat harus dimulai dari merubah cara pandang (mindset) mengenai hakikat kepemimpinan itu sendiri.

Agaknya, di masyarakat pada umumnya masih kuat cara pandang bahwa pemimpin itu sama dengan penguasa. Kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan.

Baca juga: CEK FAKTA: Bawa E-KTP, Bisa Ikut Pemilu di Mana Pun?

Sehingga setiap pemilu diselenggarakan yang terlihat adalah bagaimana para calon pemimpin dan caleg itu memperoleh jabatan untuk berkuasan.

Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, mulai dari korupsi, money politics, curang, mencemooh dan merendahkan orang lain, menyebar hoaks semata-mata untuk mendapatkan kekuasaan.

Kekuasaan selalu dilihat sebagai sesuatu yang luar biasa, dan dengan kekuasaan itu dapat mengatur rakyat sesuai dengan kehendaknya.

Memang begitulah, ketika kepemimpinan dimaknai sebagai kekuasaan, maka rasionalitas, etika dan norma cenderung membusuk dan terabaikan.

Secara politis, obsesi kekuasaan adalah untuk dapat seterusnya memerintah dan menjadikan kekuasaan itu absolut, biarpun sang penguasa sama sekali tidak dihormati.

Kekuasaan eksis di atas pihak yang sengaja ditekan, diancam, dieksploitasi, dan dirampas habis eksistensinya.

Donald K Emmerson (2001) mencatat banyak cara yang dilakukan oleh pemimpin (penguasa) untuk menguasai rakyat. Di antaranya dengan cara membentuk aparatur dan seperangkat lembaga otoriter yang mengontrol dan mengekang partisipasi rakyat dan meminggirkannya dari pusat pengambilan keputusan.

Kekuasaan negara yang represif dan dominatif, bukan saja gagal membangun kultur demokrasi, tetapi secara sistematis menindas kemanusiaan dan merusak solidaritas sosial.

Oleh karena itu, kita mengubah makna kepemimpinan, bukan lagi sebagai kekuasaan tetapi kepemimpinan adalah pelayanan. Memimpin pada hakekatnya adalah melayani.

Melayani rakyatnya untuk memecahkan berbagai persoalan hidup, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dalam berbagai kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang bertalian dengan konsepsi bahwa kepemimpinan adalah pelayanan.

Pertama, kepemimpinan yang melayani selalu mengandaikan bahwa suatu pekerjaan dilaksanakan dengan penuh kemudahan.

Siapa pun orangnya yang memposisikan diri sebagai pelayan selalu ingin mempercepat dan mempermudah proses pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya, agar segera selesai dan memuaskan pihak yang dilayani.

Pemimpin dengan posisi ini, akan mendapat sambutan baik dan kecintaan dari orang yang dipimpinnya. Sebaliknya jika pemimpin yang menempatkan diri sebagai berkuasa, mereka akan mempersulit dan cenderung menghindar dari tanggung jawabnya.

Kedua, kepemimpinan pelayanan selalu terkait dengan penghormatan dan penghargaan terhadap orang lain yang dilayani. Hal ini berarti pemimpin yang berusaha semaksimal mungkin mengembalikan supremasi aspirasi publik.

Keinginan untuk menjadi negara yang demokratis hanya mungkin terwujud apabila secara intensional ada usaha mengembalikan aspirasi publik sebagai yang utama.

Namun sayangnya, penghormatan kepada orang lain (rakyat) merupakan salah satu sikap yang terus melemah di kalangan pemimpin. Feodalisme kekuasaan masih begitu kental menjadi ciri kepemimpinan politik.

Ketiga, konsepsi kepemimpinan yang bermakna melayani juga mensyaratkan adanya sikap proaktif atau mendatangi rakyat (blusukan). Pemimpin yang baik dan mecintai rakyatnya adalah pemimpin yang senang turun ke bawah.

Tidak hanya dilakukan dengan cara berkunjung secara fisik, tetapi lebih dalam pengertian kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan harus benar-benar diorientasikan untuk kesejahteraan rakyatnya. Ini berarti harus terjadi pemerataan ekonomi dan melibatkan partispasi dan peran serta rakyat bawah.

Pada Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan ini untuk memilih pemimpin, baik presiden maupun pemimpin yang akan duduk di dewan perwakilan rakyat, sangat diharapkan dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang dapat mengemban amanat, menjadi pelayan rakyat dan cepat menangkap aspirasi serta tanggap terhadap persoalan di masyarakat.

Sambil menanti tegaknya demokrasi yang dicita-citakan bersama, rakyat juga mengharap kepemimpinan yang akan datang melakukan perubahan paradigma hakekat dan fungsi kepemimpinan. Bahwa ia dipercaya sebagai pemimpin adalah untuk melayani bukan untuk menguasai rakyat.

Tanda-tanda ke arah itu akan terlihat sejauh mana para elite politik mampu bersikap dewasa dan jujur, terutama dalam menyikapi hasil pemilu ini.

Kemenangan dalam pemilu harus dipahami sebagai tanggung jawab dan amanat rakyat yang wajib ditunaikan sebaik-baiknya.

Sebaliknya, pihak yang kalah harus menerima dengan legowo bahwa rakyat belum memberi mandat. Selanjutnya segera kembali bersama-sama bekerja dan menatap masa depan untuk bangsa yang lebih baik dan demokratis. *(Sunanto, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah 2018-2022)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com