Ia pun juga sudah melepaskan pekerjaannya di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sehingga saat ini ia mengambil pekerjaan-pekerjaan lepas.
"Partai hanya memfasilitasi untuk pertemuan, alat peraga kampanye dan kendaraan operasional. Di luar itu saya harus freelance, nyambi sana-sini. Jadi kalau dibilang besarnya pengeluaran besar mana, ya karena sekarang saya kerjanya serabutan ya jadi besar sekarang ya dibanding pekerja tetap dulu (di LSM)," kata dia.
Menurut Anggi, ketimbang modal uang, ia mengandalkan modal sosial. Modal sosial yang dimaksud adalah kontribusi panjangnya di dalam masyarakat, khususnya dalam memperjuangkan penyandang disabilitas.
Anggi tercatat pernah bertugas selama tiga tahun di Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum (YAKKUM). Pusat Rehabilitasi YAKKUM memberikan pelayanan kepada para penyandang disabilitas.
Baca juga: Cerita Caleg: Blusukan ke Pelosok Sulawesi, Badaruddin Tidur di Warung saat Kampanye
Kemudian ia pernah bertugas selama 1 tahun di lembaga internasional, Arbeiter Samariter Bund (ASB) Indonesia & The Philippines. Organisasi internasional ini bergerak pada pengurangan risiko bencana. Anggi juga berkiprah sebagai penasihat teknis pada Handicap International.
Masyarakat, kata Anggi, sudah mulai bersikap rasional dalam menentukan caleg pilihannya. Oleh karena itu rekam jejak dinilainya penting.
"Yang penting harus diperhatikan adalah kita punya hasil kerja dulu untuk meyakinkan masyarakat memilih kita. Kenapa? Dengan demikian kita meminimalisir risiko kita untuk dimintai uang, misalnya dengan serangan fajar," katanya.
Sebagai caleg, Anggi memandang politik uang merupakan hal yang tak patut dilakukan. Sebab, apabila ia berpolitik uang, sama saja menggagalkan perjuangan isu disabilitas yang sudah ia rintis.
"Saya percaya transparansi dan akuntabilitas. Bagi saya pribadi tidak bakal saya lakukan (politik uang) karena kemudian ini kayak hati nurani saya bilang 'enggak deh'. Saya ingin bekerja karena memang isu (disabilitas) ini adalah isu tentang saya juga. Kalau saya misalnya melakukan serangan fajar berarti saya hanya mewakili isu serangan fajar dong," katanya.
"Saya enggak mau hal itu. Saya mau mewakili isu disabilitas, tentang perempuan, pendidikan inklusif, aksesibilitas, pekerjaan yang layak, pembangunan inklusif," sambungnya.
Anggi memiliki harapan tersendiri terhadap perbaikan sistem pemilihan umum ke depan. Ia menyoroti keterwakilan perempuan sebesar 30 persen yang harus dipenuhi partai dalam pencalegan. Menurut dia, kuota seperti ini seharusnya juga diterapkan di parlemen.
"Karena meskipun dari caleg 30 persen, tapi berapa persen sih yang duduk di parlemen? Ini kan untuk menjamin bahwa suara-suara perempuan di luar sana benar-benar bisa sampai ke parlemen," kata dia.
Ia juga berharap ada kuota keterwakilan bagi penyandang disabilitas baik saat pencalegan dan di parlemen. Anggi mengungkapkan, ada sekitar 12 persen penduduk Indonesia merupakan penyandang disabilitas. Menurut dia, jumlah ini cukup besar.
Baca juga: Cerita Caleg: Suka Duka Kampanye, Selalu Dianggap Banyak Uang oleh Konstituen
"Dan sampai saat ini belum ada keterwakilan 12 persen itu. Harapan saya agar lebih banyak teman-teman yang bergerak di isu (disabilitas) ini untuk masuk ke dalam sistem pemerintahan dengan perjuangan dan modal sosial. Mulai membawa isu ini sebagai kepentingan masyarakat luas yang harus diperjuangkan," katanya.
"Ini membawa disabilitas sebagai kepentingan bersama, bukan kepentingan milik satu kelompok, tetapi memang berbicara mengenai warga negara yang sama-sama berhak memiiki keterwakilan," pungkasnya.