Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontestasi Politik yang Tak Lagi Jernih dan Tanpa Nalar...

Kompas.com - 07/02/2019, 08:37 WIB
Kristian Erdianto,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com — Kontestasi politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 memunculkan kekhawatiran di sejumlah kalangan.

Sekitar dua bulan jelang pencoblosan, perdebatan antara dua kubu capres-cawpres dinilai masih didominasi oleh hal-yang sensasional dan tidak substansial.

Alih-alih beradu ide dan gagasan, para elite politik justru cenderung terjebak dalam kebisingan. Hoaks atau kabar bohong pun marak beredar melalui media sosial.

Sastrawan Agus Noor menilai, saat ini keriuhan politik telah kehilangan daya untuk menjernihkan masyarakat. Kelompok intelektual dan cendekiawan yang seharusnya menjadi penjernih situasi malah ikut terseret arus politik praktis.

"Di tengah keriuhan (politik), kita kehilangan suara kejernihan. Problemnya ketika politik menyeret para intelektual dan cendekiawan, pada politik praktis. Pada Pilpres kali ini, hal itu sangat terasa. Kepentingan-kepentingan praktis sangat mendominasi sehingga kita kehilangan suara yang jernih," ujar Agus saat menjadi narasumber dalam acara Satu Meja The Forum, yang ditayangkan KOMPAS TV, Rabu (6/2/2019) malam.

Baca juga: KPU Ingatkan Kandidat Lempar Pertanyaan yang Substansial dalam Debat

Agus melihat, masyarakat mulai membutuhkan tokoh-tokoh intelektual yang mampu melepaskan diri dari kepentingan politik praktis.

Menurut dia, harus ada tokoh intelektual maupun cendekiawan yang mampu mengartikulasikan fakta-fakta di tengah keriuhan politik dan banjir hoaks yang terjadi.

Situasi-situasi seperti itu membuat kita merindukan tokoh-tokoh para intelektual, cendekiawan untuk kembali menyuarakan kejernihan. Kejernihan ini bukan netral. Dia justru mengartikulasikan fakta-fakta yang tersembunyi. Itu coba dijernihkan," ucap dia.

Eskapisme

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi berpandangan bahwa para elite politik lebih suka menghindari tema-tema yang berat dan sentral dalam perdebatan.

Artinya, para elite memilih cara yang paling mudah untuk memenangkan kontestasi politik. Hal itu, kata Mochtar, terlihat jelas saat debat pertama pilpres pada 17 Januari 2019 lalu.

Dua Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1 dan 2, saat hadir dalam debat pertama Pilpres 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019).
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Dua Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 1 dan 2, saat hadir dalam debat pertama Pilpres 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (17/1/2019).
"Kenapa terlalu banyak noise dan sedikit voice? Karena para pemain utama di panggung politik melakukan eskapisme atau penghindaran. Dia mencari gampangnya. Tergambar pada debat kemarin itu. Rata-rata menghindari tema-tema berat, tema-tema yang sentral bagi bangsa ini," ujar Mochtar.

Situasi Pilpres 2019, lanjut Mochtar, sangat jauh berbeda jika dibandingkan pada Pilpres 2014 lalu. Masyarakat terlihat sangat antusias.

Ia berpandangan, salah satu faktor yang melahirkan antusiasme tersebut adalah Nawa Cita. Menurut Mochtar, konsep gagasan yang ditawarkan oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat itu menangkap segala persoalan sentral bangsa Indonesia secara jernih.

Baca juga: Perdebatan Tak Substansial Dinilai Bikin Visi Misi Capres Tak Tersampaikan

Namun, Mochtar mengatakan, calon presiden Joko Widodo pada pilpres kali ini justru terkesan menghindari perdebatan yang menyangkut persoalan dalam Nawa Cita.

"Kenapa sekarang kubu 01 sepertinya menghindari itu. Tidak mengangkat itu. Apa takut karena diserang atau bagaimana. Menurut saya tidak ada alasan untuk takut. Itu adalah hal yang sangat bagus untuk diperjuangkan terus dan terbuka," kata Mochtar.

Daya Nalar

Tak hanya soal kejernihan, situasi politik dan demokrasi sekarang ini juga dinilai telah kehilangan daya nalarnya.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte mengatakan, setiap orang memiliki hak untuk berpendapat sebagai konsekuensi logis dari sistem pemilihan langsung.

Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J VermonteDYLAN APRIALDO RACHMAN/KOMPAS.com Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte
Sementara itu, perkembangan teknologi dan media sosial memberikan ruang bagi kebebasan berpendapat.

Namun, dalam ruang media sosial yang begitu luas, timbul fenomena anti-intelektualisme. Banyak orang cenderung menolak penjelasan yang masuk akal, rasional, dan mengedapankan pendapat subyektif.

Baca juga: Elite Politik dan Media Massa Dianggap Bertanggung Jawab dalam Literasi Informasi

"Menurut saya, pangkal permasalahannya adalah itu ada semacam anti-intelektualisme. Anti terhadap penjelasan yang masuk akal dan rasional karena yang dikedepankan adalah pandangan subyektif," kata Philips.

Di sisi lain, kata Philips, muncul pula fenomena yang ia sebut sebagai "what about-ism". 

Misalnya, seseorang diserang oleh banyak pihak karena dianggap telah menyebarkan hoaks.

Kendati demikian, orang tersebut justru menyalahkan orang lain yang telah melakukan hal yang serupa.

Philips menilai fenomena ini mendorong banyak orang tidak berpikir rasional dalam setiap perdebatan.

"Dua hal ini yang membuat kita kehilangan kejernihan dan daya nalar. Saya kira obatnya hanya satu, mendorong setiap orang untuk bersikap rasional terhadap setiap perdebatan," ujar Philips.

Kompas TV Komisi Pemilihan Umum menggelar rapat persiapan debat kedua pemilihan presiden. Dalam rapat itu dihadiri juga tim dari TKN, BPN, Bawaslu, pihak penyelenggara serta pihak lokasi pelaksanaan. KPU menyampaikan 4 perubahan format debat kedua dalam rapat koordinasi di gedung KPU Pusat. Antara lain yaitu perubahan terkait daftar pertanyaan panelis yang bersifat tertutup sehingga tidak akan diberitahukan pada kandidat sebelum debat berlangsung, perubahan kedua terkait tim panelis yang kali ini sepenuhnya akan ditentukan oleh KPU. Pada rapat koordinasi kali ini semua pihak diundang kecuali panelis debat yang akan digelar terpisah pada Jumat (8/2/2019) mendatang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Status Taruna STIP yang Aniaya Junior Bakal Dicopot

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com