Sekitar dua bulan jelang pencoblosan, perdebatan antara dua kubu capres-cawpres dinilai masih didominasi oleh hal-yang sensasional dan tidak substansial.
Alih-alih beradu ide dan gagasan, para elite politik justru cenderung terjebak dalam kebisingan. Hoaks atau kabar bohong pun marak beredar melalui media sosial.
Sastrawan Agus Noor menilai, saat ini keriuhan politik telah kehilangan daya untuk menjernihkan masyarakat. Kelompok intelektual dan cendekiawan yang seharusnya menjadi penjernih situasi malah ikut terseret arus politik praktis.
"Di tengah keriuhan (politik), kita kehilangan suara kejernihan. Problemnya ketika politik menyeret para intelektual dan cendekiawan, pada politik praktis. Pada Pilpres kali ini, hal itu sangat terasa. Kepentingan-kepentingan praktis sangat mendominasi sehingga kita kehilangan suara yang jernih," ujar Agus saat menjadi narasumber dalam acara Satu Meja The Forum, yang ditayangkan KOMPAS TV, Rabu (6/2/2019) malam.
Agus melihat, masyarakat mulai membutuhkan tokoh-tokoh intelektual yang mampu melepaskan diri dari kepentingan politik praktis.
Menurut dia, harus ada tokoh intelektual maupun cendekiawan yang mampu mengartikulasikan fakta-fakta di tengah keriuhan politik dan banjir hoaks yang terjadi.
Situasi-situasi seperti itu membuat kita merindukan tokoh-tokoh para intelektual, cendekiawan untuk kembali menyuarakan kejernihan. Kejernihan ini bukan netral. Dia justru mengartikulasikan fakta-fakta yang tersembunyi. Itu coba dijernihkan," ucap dia.
Eskapisme
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi berpandangan bahwa para elite politik lebih suka menghindari tema-tema yang berat dan sentral dalam perdebatan.
Artinya, para elite memilih cara yang paling mudah untuk memenangkan kontestasi politik. Hal itu, kata Mochtar, terlihat jelas saat debat pertama pilpres pada 17 Januari 2019 lalu.
Situasi Pilpres 2019, lanjut Mochtar, sangat jauh berbeda jika dibandingkan pada Pilpres 2014 lalu. Masyarakat terlihat sangat antusias.
Ia berpandangan, salah satu faktor yang melahirkan antusiasme tersebut adalah Nawa Cita. Menurut Mochtar, konsep gagasan yang ditawarkan oleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat itu menangkap segala persoalan sentral bangsa Indonesia secara jernih.
Namun, Mochtar mengatakan, calon presiden Joko Widodo pada pilpres kali ini justru terkesan menghindari perdebatan yang menyangkut persoalan dalam Nawa Cita.
"Kenapa sekarang kubu 01 sepertinya menghindari itu. Tidak mengangkat itu. Apa takut karena diserang atau bagaimana. Menurut saya tidak ada alasan untuk takut. Itu adalah hal yang sangat bagus untuk diperjuangkan terus dan terbuka," kata Mochtar.
Daya Nalar
Tak hanya soal kejernihan, situasi politik dan demokrasi sekarang ini juga dinilai telah kehilangan daya nalarnya.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte mengatakan, setiap orang memiliki hak untuk berpendapat sebagai konsekuensi logis dari sistem pemilihan langsung.
Namun, dalam ruang media sosial yang begitu luas, timbul fenomena anti-intelektualisme. Banyak orang cenderung menolak penjelasan yang masuk akal, rasional, dan mengedapankan pendapat subyektif.
"Menurut saya, pangkal permasalahannya adalah itu ada semacam anti-intelektualisme. Anti terhadap penjelasan yang masuk akal dan rasional karena yang dikedepankan adalah pandangan subyektif," kata Philips.
Di sisi lain, kata Philips, muncul pula fenomena yang ia sebut sebagai "what about-ism".
Misalnya, seseorang diserang oleh banyak pihak karena dianggap telah menyebarkan hoaks.
Kendati demikian, orang tersebut justru menyalahkan orang lain yang telah melakukan hal yang serupa.
Philips menilai fenomena ini mendorong banyak orang tidak berpikir rasional dalam setiap perdebatan.
"Dua hal ini yang membuat kita kehilangan kejernihan dan daya nalar. Saya kira obatnya hanya satu, mendorong setiap orang untuk bersikap rasional terhadap setiap perdebatan," ujar Philips.
https://nasional.kompas.com/read/2019/02/07/08372021/kontestasi-politik-yang-tak-lagi-jernih-dan-tanpa-nalar