"Ini Jan Ethes yg pernah sebut @jokowi, kakeknya, sbg 'Artis' ya? Tapi bgmn kalau ini jadi legitimasi pelibatan anak2 dlm kampanye? Bgmn @bawaslu_RI masih bisa berlaku adil kah?"
Twit Hidayat pun langsung ramai. Usut punya usut, pelibatan Jan Ethes dalam vlog yang kemudian viral adalah strategi Koordinator Relawan Tim Cakra 19 yang dikomandani Andi Widjajanto, mantan Menteri Sekretaris Kabinet di awal Jokowi menjabat presiden.
Kepada program AIMAN yang akan tayang pada 4 Februari 2019, pukul 20.00 WIB, Andi mengatakan video Jokowi dengan cucu pertamanya, Jan Ethes, akan semakin sering diunggah.
"Ini bukan merupakan kampanye, karena tidak ada unsur kampanye, seperti nomor urut atau ajakan memilih di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa pemimpin itu tak sekadar visi, misi, dan program kerja, tapi juga kesatuan dalam keluarga!" kata Andi.
Pertanyaannya, seberapa penting model "kampanye" yang memasarkan kegiatan bersifat humanis di atas?
Seberapa berpengaruh kampanye model ini? Adakah dampak negatifnya jika diketahui bahwa apa yang ditampilkan dalam “kampanye” ini tidak orisinil?
Mengapa banyak dari kontestan yang menggunakan model seperti ini dalam berkomunikasi dengan massa?
Jawabannya ada di jumlah pemilih bimbang (undecided voters dan swing voters) yang belum dan bisa mengubah pilihan. Jumlahnya sekitar 44 persen (Litbang Kompas, Oktober 2018).
Justru para pemilih banyak melihat hal-hal di luar substansi yang terkesan receh dan remeh temeh untuk dijadikan dasar memilih di saat-saat akhir.
Kemenangan Jokowi pada 2014, yang paling diingat saat itu, bisa jadi bukan karena kinerjanya di Solo yang tak terlalu banyak terekspos selain pemindahan PKL dengan damai, apalagi kiprahnya sebagai gubernur DKI Jakarta yang masih sangat singkat.
Survei exit poll Litbang Kompas pasca-Pilpres 2014 mendapatkan, Jokowi dipilih karena sosok humanis yang dikampanyekan, yakni sederhana dan anti-korupsi.
Cerita tentang Sandi dan Jokowi di atas menjadi penting buat pemilih menentukan pilihan, bisa jadi lebih penting dari isu di balik rekayasa atau orisinil.
Menjaring suara tidak hanya soal menyentuh aspek kognitif atau rasionalitas pemilih, tapi yang lebih penting adalah menyentuh sisi afektif pemilih. Siapakah yang berhasil mencuri “hati” masyarakat di bilik suara?
Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandi?
Saya Aiman Witjaksono...
Salam!