Sesungguhnya sangat mudah untuk melihat apakah suatu karya merupakan produk jurnalistik atau tidak. Kunci pertama adalah apakah karya itu memuat prosedur cek dan ricek dari isu yang ditampilkan.
Dalam buku The Uncertain Guardian (Sparrow, 1999) disebutkan pers berdiri atas isu yang harus diklarifikasi. Ia menjadi institusi yang menguji apakah suatu isu benar atau tidak. Titik pijaknya adalah nurani.
Jika berhasil maka lembaga pers sukses memainkan perannya sebagai penjaga (guard dog) Sebaliknya, jika bergerak bukan berdasarkan hati nurani tapi perintah institusi atas dasar kepentingan kelompok atau golongan (orderd news) maka ia menjadi lembaga yang tidak bisa diandalkan dan menjelma menjadi institusi yang tak mampu menjadi penjaga publiknya (lap dog).
Kunci verifikasi dilakukan dengan rigid dan detail. Pers harus menimbang apakah sebuah isu berkembang tanpa dasar fakta alias hanya berupa rumor belaka? Tak layak media massa mengangkat rumor tanpa fakta. Inilah yang membedakan media arus utama (mainstream media) dan media sosial.
Sebaliknya, jika berdasarkan penelusuran (cek dan cek) ternyata didapatkan fakta bahwa rumor itu adalah benar maka isu itu dapat dipandang memiliki nilai berita dan layak untuk diangkat. Meskipun rumor itu mengandung kenyataan pahit tentang calon tertentu, itu adalah karya jurnalistik.
Lalu, langkah kedua yang tak boleh dilewati adalah memberikan hak bagi pihak "tertuduh" untuk menjelaskan hal yang dimaksud (cover both-sides) sebagai bagian dari verifikasi.
Dari dua langkah ini, sesungguhnya sudah bisa ditarik kesimpulan apakah isi dari media dimaksud merupakan produk jurnalistik atau bukan.
Ada juga prasyarat lain. Kita mesti menengok Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang mengatur, sebuah perusahaan pers harus menjelaskan identitasnya secara terang benderang: disebut dengan jelas siapa penanggung jawabnya, alamat kantor, dan siapa saja wartawan yang berada di balik berita-berita yang diterbitkan.
Lepas dari persoalan ini, ada kesamaan antara Obor Rakyat dan Indonesia Barokah. Dua tabloid di dua periode pilpres ini disebar di lokasi yang sama: masjid dan pesantren.
Mengapa dua tempat itu yang disasar? Pertanyaan menarik.
Berikut catatan saya. Sejak Pilpres 2014, pemilih Islam menjadi pemilih yang disasar oleh kedua pasangan calon. Isu-isu terkait pemilih Islam juga selalu muncul secara jelas dalam kontestasi politik jelang pemilihan di dua periode tersebut.
Meski Obor Rakyat menolak dikaitkan dengan pasangan calon tertentu, tetapi arah isi dari Obor Rakyat jelas hendak membalikkan pemilih dari Jokowi ke Prabowo.
Sebaliknya juga yang terjadi pada Indonesia Barokah. Meski belum tampak siapa yang berada di balik Indonesia Barokah, secara tersirat kontennya memiliki kecenderungan untuk membalikkan pilihan dari Prabowo ke Jokowi.
Fenomena swing voters bisa menjawabnya.
Hasil penelitian Litbang Kompas (Oktober 2018), swing voters alias pemilih yang masih bimbang menentukan pilihan masih berjumlah 30 persen.
Jika ditambahkan dengan undecided voters alias calon pemilih yang belum menentukan pilihan (sebesar 14,2 persen), maka jumlah total orang yang bisa beralih pilihan dari Capres 01 ke 02 dan sebaliknya adalah 44 persen lebih.
Angka yang luar biasa dan dapat menentukan pemenang Pilpres 2019. Baik pada Pilpres 2014 maupun 2019 pemilih Islam yang jumlahnya mayoritas menjadi penentu kemenangan. Perebutan pemilih Islam yang berawal di Pemilu 2014 tampaknya terus berlanjut hingga 2019.
Pertanyaannya, apakah kampanye hitam yang bergentayangan ini berpengaruh dalam merebut swing voters?
Di sini berlaku adagium, informasi yang terus dihembuskan akan memunculkan keyakinan orang akan informasi tersebut. Sayangnya, keyakinan ini membentuk kesadaran palsu pada rasionalitas masyarakat.
Logika masyarakat menjadi kacau. Daya kritis hilang. Ego kelompok menjadi besar. Kondisi ini sungguh rentan. Perpecahan antar-kelompok terjadi.
Apakah ini yang diinginkan oleh pemenang Pilpres?
Saya Aiman Witjaksono
Salam.