Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Politik Tanpa Kebencian

Kompas.com - 09/11/2018, 12:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISTILAH "politik kebencian" sesungguhnya adalah dua kata yang saling kontradiktif. Karena, "politik" tentu saja memiliki konotasi "seni memengaruhi atau mengajak" sehingga orang lain terpengaruh dan mau ikut dengan ajakan kita.

Mengajak dalam konteks politik tentu saja dengan memberikan keyakinan atas banyak hal yang baik dan positif kepada pihak lain. Hampir tak mungkin ada di dalamnya unsur-unsur yang terkait keburukan karena orang berpolitik selayaknya akan menunjukkan banyak hal baik agar orang percaya untuk mengikutinya.

Adapun "kebencian", sebagaimana disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah "perasaan benci" atau "sifat-sifat benci" yang dimiliki seseorang atau kelompok yang tentu saja tujuannya "menolak" bukan "mengajak".

Namun demikian, "mengajak dengan didahului oleh kebencian" tampaknya kian marak belakangan, dengan tujuan-tujuan politis.

Yang paling menyedihkan, politik kebencian lekat dengan nuansa keberagamaan yang tidak "wajar", di mana agama bukan dipahami sebagai sebuah entitas perekat sosial dengan nuansa kedamaian di dalamnya, tetapi dijadikan "pemicu" untuk mendorong kebencian pada pihak atau kelompok lain.

Ya, dalam khazanah Islam, misalnya, seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan sikap keberagamaan secara tidak wajar, sama dengan ghuluw (bersikap berlebihan yang melampaui batas).

Kata ghuluw yang berasal dari akar kata bahasa Arab ghalaa, kemudian diadopsi ke dalam istilah bahasa Indonesia menjadi "gila" (sikap yang menunjukkan ketidakwarasan berpikir, atau akal sehatnya terganggu).

"Kegilaan agama" barangkali akar pemicu dalam dimensi perputaran poros politik kebencian.

Politik, dalam konteks yang sangat idealistis, sejatinya bersifat agung sebab ia dapat membawa perubahan.

Namun, politik menjadi busuk dan tidak layak dikonsumsi ketika ia berselingkuh dengan agama dan memanfaatkan agama, melalui umatnya, sebagai alat untuk kepentingan tertentu.

Kita sempat melihat bagaimana partai oposisi begitu getol dalam menciptakan kegaduhan-kegaduhan, membuat seakan agama dilecehkan, lalu mereka berjuang melalui agama itu, dengan dan tanpa kepentingan politik sekalipun.

Dengan begitu, kita bisa semakin paham bahwa betapa bahasa agama yang dipelintir dapat memorak-porandakan opini publik, menjadikan suasana politik kita menjadi tidak sehat, dan hati nurani kita tercabik-cabik seakan kehilangan arah harus berbuat apa. Padahal, kita adalah juga pengguna media sosial dan bagian dari opini publik tersebut.

Walhasil, kita menjadi korban keganasan bahasa agama yang dipelintir oleh sekian banyak orang yang merasa berjuang, tetapi tidak memahami atas nama apa ia berjuang.

Mengapa di negara yang mayoritas berpenduduk Muslim seakan umat Islam menjadi korban dan merasa terzalimi?

Kelucuan demi kelucuan menjadi tampak di permukaan, akal sehat dipertaruhkan, opini publik makin tidak menemukan titik temu yang jelas, hoaks ada di mana-mana, dan ujaran-ujaran kebencian semakin subur dan terpelihara begitu masif dalam bungkus bahasa agama dan dalam bahasa moralitas yang tak diketahui asal-usulnya.

Dengan begitu, orang-orang menjadi semakin takut berpendapat sebab kaos pun dianggap dapat mewakili opini publik secara keseluruhan.

Betapa ini sangat membelenggu kesadaran intelektual kita. Hukum moral kita tercabik-cabik bagai mata rantai yang terputus di tengah jalan.

Sampai kapan agama dan banyolan-banyolan dangkal disalahgunakan? Akan sejauh mana perjalanan politik kita?

Dalam pandangan hakikat, narasi-narasi negatif (kejahatan) yang menjadi sebab timbulnya permusuhan dan kebencian itu bersifat "padat". Sebagaimana yang layak dimafhumi bahwa sifat benda padat tidak dapat berpindah dan tidak dapat memantul pada yang lain.

Adapun kebaikan (perdamaian dan lainnya) bersifat halus bak cahaya. Artinya, sifat kebaikan dapat pindah dan memantul pada yang lain. Ini sesuai dengan pepatah: "karena kebaikan satu orang, seribu orang dimuliakan."

Karena itu, kedengkian, kebencian, dan permusuhan terhadap orang atau kelompok tertentu--yang berlainan pendapat dan pandangan--harus segera dihentikan. Sikap tersebut tidak hanya membahayakan persatuan dan persaudaraan, tetapi juga sangat bertentangan dengan kebenaran.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dukung Prabowo-Gibran, PKB Pastikan Tak Bakal Rusak Soliditas Koalisi Indonesia Maju

Dukung Prabowo-Gibran, PKB Pastikan Tak Bakal Rusak Soliditas Koalisi Indonesia Maju

Nasional
Senada dengan Nasdem, PKB Anggap Hak Angket Kecurangan Pemilu Kian Sulit Diwujudkan

Senada dengan Nasdem, PKB Anggap Hak Angket Kecurangan Pemilu Kian Sulit Diwujudkan

Nasional
Usai Dukung Prabowo-Gibran, Nasdem dan PKB Bilang Timnas Amin ‘Bubar’

Usai Dukung Prabowo-Gibran, Nasdem dan PKB Bilang Timnas Amin ‘Bubar’

Nasional
MK Sidangkan Sengketa Pileg 2024 Mulai 29 April, Sehari Puluhan Perkara

MK Sidangkan Sengketa Pileg 2024 Mulai 29 April, Sehari Puluhan Perkara

Nasional
Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PKS: Pak Surya Paling Cantik Bermain Politik

Nasdem Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PKS: Pak Surya Paling Cantik Bermain Politik

Nasional
Penghormatan Terakhir PDI-P untuk Tumbu Saraswati...

Penghormatan Terakhir PDI-P untuk Tumbu Saraswati...

Nasional
Idrus Sebut Ada Posisi Strategis yang Ditawarkan jika Jokowi Masuk Golkar; Ketua Umum hingga Ketua Dewan Pembina

Idrus Sebut Ada Posisi Strategis yang Ditawarkan jika Jokowi Masuk Golkar; Ketua Umum hingga Ketua Dewan Pembina

Nasional
CSIS: Jumlah Caleg Perempuan Terpilih di DPR Naik, tapi Sebagian Terkait Dinasti Politik

CSIS: Jumlah Caleg Perempuan Terpilih di DPR Naik, tapi Sebagian Terkait Dinasti Politik

Nasional
Cak Imin Titip 8 Agenda Perubahan ke Prabowo, Eks Sekjen PKB: Belum 'Move On'

Cak Imin Titip 8 Agenda Perubahan ke Prabowo, Eks Sekjen PKB: Belum "Move On"

Nasional
CSIS: Caleg Perempuan Terpilih di Pemilu 2024 Terbanyak Sepanjang Sejarah sejak Reformasi

CSIS: Caleg Perempuan Terpilih di Pemilu 2024 Terbanyak Sepanjang Sejarah sejak Reformasi

Nasional
Prabowo-Gibran Disarankan Terima Masukkan Masyarakat saat Memilih Menteri, daripada 'Stabilo KPK'

Prabowo-Gibran Disarankan Terima Masukkan Masyarakat saat Memilih Menteri, daripada "Stabilo KPK"

Nasional
CSIS: Caleg Terpilih yang Terindikasi Dinasti Politik Terbanyak dari Nasdem, Disusul PDI-P

CSIS: Caleg Terpilih yang Terindikasi Dinasti Politik Terbanyak dari Nasdem, Disusul PDI-P

Nasional
MK Registrasi 297 Sengketa Pileg 2024

MK Registrasi 297 Sengketa Pileg 2024

Nasional
CSIS: 138 dari 580 Caleg Terpilih di DPR Terasosiasi Dinasti Politik

CSIS: 138 dari 580 Caleg Terpilih di DPR Terasosiasi Dinasti Politik

Nasional
Idrus Marham Dengar Kabar Golkar Dapat 5 Kursi Menteri dari Prabowo

Idrus Marham Dengar Kabar Golkar Dapat 5 Kursi Menteri dari Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com