JAKARTA, KOMPAS.com - Penetapan tersangka Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar pimpinan lembaga legislatif yang tersangkut kasus korupsi.
Sebelumnya, mantan Ketua DPR, Setya Novanto, divonis 15 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi terkait proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Tak hanya pimpinan, deretan anggota DPR yang terjerat kasus korupsi juga semakin panjang.
Lemahnya regulasi dinilai menjadi celah bagi para pejabat melakukan praktik korupsi. Akhirnya, korupsi menjadi tersistematis dan sulit diberantas.
"Saya kira yang paling bisa dirujuk sebagai celah korupsi adalah persoalan sistem," ujar peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus saat dihubungi, Sabtu (3/11/2018).
Baca juga: Korupsi Pimpinan Dewan, dari Jual Beli Pengaruh hingga Intervensi Anggaran
"Sistem di sini menyangkut semua instrumen tata kelola pemerintahan demokratis, dari tata kelola pemerintahan, partai politik dan lain-lain. Tata kelola itu tersurat dalam hukum atau UU yang dihasilkan," kata Lucius.
Lucius menilai, upaya membangun tata kelola melalui pembentukan regulasi yang kuat hingga pada tahap pelaksanaannya belum dilakukan secara serius.
Ia mencontohkan, belum adanya mekanisme pembuktian terbalik atas harta kekayaan seorang calon pejabat.
Artinya, seorang calon pejabat harus dapat membuktikan harta kekayaannya diperoleh dengan cara yang sah.
"Ini pasti tak akan didukung dengan berbagai macam alasan. Padahal, inti gagasan pembuktian terbalik mungkin akan dengan mudah menemukan siapa yang hidupnya berintegritas atau tidak," kata Lucius.
Ia juga menyoroti tak adanya petunjuk teknis pembuatan laporan pertanggungjawaban kunjungan kerja (kunker) dan petunjuk operasional DPR dalam penggunaan dana reses.
Lucius mengatakan, pelaporan keuangan negara seharusnya juga diwajibkan bagi siapa saja yang memakai uang negara termasuk anggota DPR
Oleh karena itu, Lucius memandang perlunya tata kelola regulasi yang lebih ketat untuk menutup celah korupsi.
Menurut dia, regulasi juga harus memberikan efek rasa takut terhadap para pejabat untuk melakukan korupsi.
"Bagaimana mau mengharapkan tata kelola yang bebas dari korupsi jika DPR yang menjadi tulang punggung pembentukan regulasi masih enggan mencontohkan laku bebas korupsi itu," ucap Lucius.
"Hanya untuk tegas mengatakan hidup tanpa korupsi saja, mungkin mereka tak berani," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.