Para pemuda yang merasa belum dapat menyatukan pandangan dalam Kongres Pemuda I tetap melakukan sejumlah pertemuan. Setelah sejumlah pertemuan antarkelompok pemuda, mereka kemudian sepakat menggelar Kongres Pemuda II di Batavia pada 27-28 Oktober 1928.
Gagasan mengenai bahasa persatuan kembali mewarnai Kongres Pemuda II, yang kembali diungkap Mohammad Yamin.
Dalam kongres itu, Yamin kembali mengungkapkan ketidaksetujuan akan fusi sejumlah organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan ke dalam satu organisasi. Namun, dia juga tidak ingin kongres tidak menghasilkan apa-apa.
Menurut Yamin, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa ini memang membutuhkan kemauan untuk bersatu. Meski begitu, dia tetap berharap kekhasan daerah tidak hilang.
Saat kongres tengah berlangsung, Yamin mulai menuliskan gagasan "Sumpah Pemuda" tersebut dalam suatu kertas. Kertas itu kemudian dia sodorkan kepada Soegondo Djojopoespito, yang saat itu menjabat Ketua Kongres.
"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya punya rumusan resolusi yang elegan)," kata Yamin kepada Soegondo, dikutip dari buku Mengenang Mahaputra Prof. Mr. H. Muhammad Yamin Pahlawan Nasional RI (2003).
Adapun, Adapun hasil dari Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang berasal dari gagasan rumusan Yamin adalah:
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Mengenai bahasa, "rumusan resolusi yang elegan" yang dimaksud Yamin adalah untuk menjunjung bahasa persatuan dengan maksud tiap suku bangsa tidak menghilangkan kekhasan bahasa daerahnya masing-masing.
Baca juga: Mohammad Yamin, Tokoh Bangsa yang Merumuskan Sumpah Pemuda...
Meski berakar dari bahasa Melayu, namun pada akhirnya kongres menyepakati "penggunaan bahasa Indonesia". Kelak, bahasa Indonesia sendiri memang mengambil sejumlah serapan dari bahasa daerah, juga bahasa asing seperti bahasa Arab, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris.
Penggunaan kata "Indonesia" sendiri semakin populer digunakan sejak awal abad ke-20. Misalnya, kelompok pelajar Indonesia di Belanda yang semula menamakan diri "Indische Vereeniging" atau Perhimpunan Hindia (Belanda) kemudian berganti nama menjadi "Indonesische Vereeniging" atau Perhimpunan Indonesia.
Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas edisi 17 November 2002, awal munculnya nama "Indonesia" terlacak dari Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) yang terbit di Singapura pada 1850 volume IV.
Di jurnal itu, seorang penulis, Windsor Earl memunculkan istilah "Indunesia" dan "Melayunesia" untuk menyebut kepulauan di Hindia.
Sementara itu di jurnal yang sama, seorang asal Skotlandia yang menjadi editor jurnal, James Richardson Logan, menulis artikel "The Ethnology of the Indian Archipelago" (Etnologi Kepulauan Hindia) yang secara spesifik menyebut istilah "Indonesia".
Pada awal tulisannya, Logan menyebutkan bahwa diperlukan nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia. Alasannya, istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang.
Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik.
Maka lahirlah istilah Indonesia yang dipahami oleh pemuda dan dijadikan pernyataan melalui sebuah bahasa persatuan. Hingga nama Indonesia menjadi identitas bangsa ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.