JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus Presiden Ahmad Erani Yustika menyoroti pernyataan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto yang menyebut bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat ini sedang menjalani praktik ekonomi kebodohan alias the economics of stupidity.
Menurut Erani, perkara yang diungkapkan Prabowo adalah perkara usang dan data yang diungkapkan dalam pidatonya itu adalah data yang tidak valid.
Erani pun 'membedah' sejumlah indikator yang digunakan oleh Prabowo di dalam argumentasinya tersebut. Berikut selengkapnya:
1. Kekayaan Indonesia hilang 300 miliar dollar AS
Dalam pidatonya di Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Kamis (11/10/2018) itu, Prabowo menyebut, indikator pertama bahwa Indonesia sedang menjalankan ekonomi kebodohan adalah sejak 1997 hingga 2014, kekayaan Indonesia yang hilang dan dinikmati asing mencapai 300 miliar dollar Amerika Serikat.
Menurut Prabowo, hal itu menyebabkan Indonesia hanya memiliki sedikit cadangan kekayaan nasional. Menurut Erani, pernyataan Prabowo itu sebenarnya tidak sepenuhnya meleset.
"Periode tersebut memang memunculkan banyak persoalan terkait ketimpangan dan kemandirian ekonomi warisan masa sebelumnya. Bahkan pada 2013 dan 2014 merupakan puncak ketimpangan pendapatan," ujar Erani.
"Saya kira Pak Prabowo bisa mendapatkan konfirmasi perkara ini secara otentik dari Presiden masa itu," lanjut dia.
Baca juga: Prabowo Sebut Indonesia Menjalankan Ekonomi Kebodohan
Namun, dia menjelaskan semenjak Jokowi menjadi presiden, pemerintah mengkoreksi keadaan itu. Hal itu terbukti dari capaian pemerintah saat ini, salah satunya dengan kepemiliikan 51 persen saham Freeport. Selain itu, Blok Rokan yang merupakan penghasil minyak terbesar juga telah dikelola oleh Pertamina 100 persen.
Data dari Laporan Investasi Dunia UNCTAD menyebutkan, persentase rata-rata penanaman modal asing langsung di Indonesia terhadap total PMTB pada kurun 2005-2010 dan 2011-2016 tidak pernah lebih dari 6 persen alias hanya berkisar 5,6 persen dan 5,7 persen.
Jika dibandingkan dengan Vietnam, besarannya bahkan empat kali lipat lebih besar dari Indonesia dengan persentase sebesar 20,4 persen pada 2005-2010 dan 23,2 persen pada 2011-2016.
Adapun, Malaysia persentasenya mencapai 13,6 persen dan 14 persen.
"Jadi tidak benar juga jika asing menguasai Indonesia," kata Erani.
Dalam pidatonya, Prabowo juga menyebut masih adanya kasus anak kurang gizi di Indonesia adalah salah satu indikator pemerintah menjalankan ekonomi kebodohan.
Mengutip data Bank Dunia, Prabowo menyebut bahwa 1 dari 3 anak Indonesia berusia di bawah lima tahun mengalami stunting atau pertumbuhan yang tidak sempurna.
Erani menegaskan, sejak awal 2015, pemerintahan Jokowi-Kalla berupaya menyelesaikan persoalan stunting dengan mengambil beberapa langkah strategis. Pertama, meningkatkan anggaran kesehatan menjadi 5 persen dari APBN, sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
"Untuk diketahui saja, pada periode sebelumnya, anggaran kesehatan itu hanya berkisar antara 2,5-3,5 persen saja," ujar Erani.
Baca juga: Argumentasi Tim Prabowo soal Indonesia Jalankan Ekonomi Kebodohan
Kedua, program pencegahan stunting didesain melalui intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Program ini membuahkan hasil. Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak bawah dua tahun (Baduta) menurun dari 32,9 persen (2014) menjadi 28,8 persen (2018).
Ketiga, dalam penanganan gizi buruk, pemerintah melaksanakan program perbaikan gizi ibu hamil kurang energi kronis (KEK) dengan pemberian makanan tambahan (PMT). Hasilnya, secara nasional, cakupan ibu hamil KEK mendapat PMT tahun 2017 adalah 82,83 persen. Artinya, sudah memenuhi target Renstra tahun 2017, yaitu 65 persen.
Keempat, program pemerintah mendorong agar bayi baru lahir dapat menyusu dini, mendapat ASI eksklusif dan vitamin A. Hasilnya, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat inisiasi menyusu dini (IMD) sebesar 73,06 persen. Artinya, melampaui target Renstra 2017, yaitu 44 persen.
Hasil lainnya, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif sebesar 61,33 persen (melampaui target Renstra 2017, yaitu 44 persen) dan cakupan pemberian vitamin A pada balita 6-59 bulan di Indonesia berdasarkan Pemantauan Status Gizi 2017 adalah 94,73 persen.
"Artinya apa? Masalah stunting dan gizi buruk memang belum tuntas, tetapi pemerintah terus bekerja keras melalui berbagai program dan komitmen anggaran. Dalam empat tahun terakhir, sudah kelihatan hasilnyam," ujar Erani.
3. Sumber daya alam dikuasai swasta
Prabowo mengatakan bahwa produksi sumber daya alam dikuasai oleh sektor swasta dan sebagian besar tidak dinikmati oleh masyarakat. Misalnya, jutaan hektar tanah dikuasai oleh perusahaan swasta, lalu mereka bawa uangnya ke luar negeri.
Erani mengakui adanya praktik ini.
"Informasi itu betul. Itu akibat kebijakan yang diambil sejak akhir 1960-an sampai 2014. Saat ini, Presiden Jokowi tidak memberi konsesi lahan lagi untuk korporasi," ujar Erani.
Pemerintah hanya memberikan lahan kepada masyarakat yang tak memiliki lahan, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Program itu masuk ke dalam program prioritas nasional, yakni Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial.
"Ini yang menyebabkan Rasio Gini sudah turun menjadi 0,38 pada 2018," ujar Erani.
4. Sebanyak 1 persen masyarakat kuasai 45 persen kekayaan nasional
Prabowo juga menyebutkan bahwa tingkat gini rasio masyarakat Indonesia sekarang berada di angka 45,4. Artinya, kata Prabowo, 1 persen rakyat Indonesia menguasai 45 persen kekayaan nasional.
Kemudian, ia mengutip data lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terkait persentase kepemilikan tanah. Prabowo menyebutkan, 1 persen masyarat menguasai 82 persen luas tanah di Indonesia.
Erani meralat data Prabowo. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2018, gini rasio Indonesia berada pada angka 0,389. Angka ini menurun sebesar 0,002 poin jika dibandingkan dengan gini rasio September 2017 yang berada pada angka 0,391.
Erani menegaskan, pemerintah saat ini bekerja keras melawan ketimpangan. Dalam dua dekade terakhir, Rasio Gini Indonesia tertinggi berada pada level 0,41, yaitu di September 2014.
Pada masa pemerintahan Jokowi-Kalla, sebut Erani, gini rasio terus menurun. Menurut dia, data itu menunjukkan upaya pemerintah cukup efektif dalam mengatasi ketimpangan ekonomi itu.
"Selain gini rasio, ukuran ketimpangan lainnya dapat dilihat dari persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah (ukuran Bank Dunia).
Jika memerhatikan data BPS, kontribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah cenderung membaik, rata-rata di atas 17 persen dibanding 2014 yang cuma 15 persen," ujar Erani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.