Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Pragmatis dan Lingkaran Setan Korupsi

Kompas.com - 16/08/2018, 07:21 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar organisasi sosial Universitas Indonesia (UI) Meuthia Ganie Rochman berpendapat, terdapat beberapa penyebab sulitnya memutus lingkaran setan korupsi.

Dua di antaranya adalah kuatnya pragmatisme masyarakat dalam berpolitik serta kuatnya promosi program populis dari para pemimpin.

Dia mencontohkan, sebagian masyarakat cenderung pragmatis dan tak melihat secara jeli rekam jejak, visi, misi dan program calon pemimpin yang dipilih.

"Mereka itu (masyarakat) ikut-ikutan tidak demokratis oleh keadaan oleh pragmatisme yang luar biasa. Kita menyingkirkan kemungkinan calon baik yang mungkin akan lebih baik mengubah kita," kata Meuthia dalam diskusi bertajuk Memutus Lingkaran Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/8/2018).

Menurut Meuthia, pragmatisme di kalangan masyarakat juga disebabkan oleh sikap pemimpin yang cenderung mempromosikan program-program yang populis.

Situasi itu membuat masyarakat menjadi terlena dan tak bisa berpikir jernih melihat rekam jejak, visi, misi, program kerja calon pemimpin secara jernih.

"Itu (program populis) akan menyembunyikan pemikiran kritis kita (masyarakat) terhadap misalnya, calon pemimpin petahana itu menyembunyikan hal-hal lain, seperti (pengelolaan) alokasi izin tambangnya seperti apa, atau munculnya jaringan korup yang baru di birokrasi pemerintahan daerah," paparnya.

"Rakyat udah enggak peduli lagi karena ada populisme yang mapan. itu yang menurut saya bahaya," sambung Meuthia.

Di sisi lain, Pakar Administrasi Publik UI Vishnu Juwono mengungkapkan, isu korupsi di Indonesia masih menjadi isu elite yang hanya menjadi konsumsi masyarakat kalangan menengah atas di wilayah perkotaan.

Hal inilah yang menjadi salah satu hambatan untuk melawan berbagai kejahatan korupsi di Indonesia.

Baca juga: Perpres tentang Pencegahan Korupsi Diharapkan Buat Perubahan Mendasar

"Belum bisa merambat ke kelompok menengah bawah yang merupakan mayoritas kita. Karena sebuah gerakan akan menjadi efektif apabila involvement dari kelompok menengah bawah itu ada," kata Vishnu.

Ia menceritakan, saat melakukan wawancara penelitian dengan sejumlah kepala daerah, mereka mengungkapkan masyarakat justru yang mendorong mereka melakukan politik uang atau politik transaksional lainnya.

Sebagian masyarakat lebih mementingkan hal-hal yang bersifat pragmatis seperti uang, sembako dan lainnya ketika memilih calon pemimpin.

"Nah akhirnya pada level lokal sendiri lingkaran setannya juga sudah ada. Apalagi pada level nasional," kata dia.

Ia berharap adanya pemberdayaan yang kuat bagi masyarakat sipil dalam memutus lingkaran korupsi. Sebab, Vishnu tak ingin kekuatan modal dan kepentingan politik pribadi calon pemimpin mendikte berbagai agenda kepemimpinan nasional secara sewenang-wenang.

Kompas TV Hingga kini baru satu bakal calon presiden yang mendaftarkan LHKPN terbaru ke KPK yaitu Prabowo Subianto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com