JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa meminta pemerintah berhati-hati saat merumuskan peraturan presiden (Perpres) terkait pelibatkan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Perpres tersebut turunan dari UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Anti-terorisme.
Ia mengatakan, jika tidak diatur dengan baik, masuknya TNI dalam pemberantasan terorisme rentan menimbulkan problematika baru.
"Makanya presiden harus hati-hati dalam memutus Perpres. Kalau salah, saya khawatir ini bisa merusak sistem negara hukum, tata demokrasi, dan HAM," ujarnya di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Jakarta, Jumat (3/8/2018).
Baca juga: Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme Dinilai Ancam Warga Sipil
Ia memberi contoh terkait kebebasan dan keadilan bagi masyarakat yang terancam. Menurut Alghiffari, proses pertanggungjawaban TNI terhadap kinerjanya lemah.
Ditambah lagi, anggota TNI tidak dapat diproses hukum secara pidana. Akibatnya, masyarakat akan kesulitan untuk melapor jika menemukan indikasi penyalahgunaan hukum saat TNI melaksanakan tugas pemberantasan terorisme.
Oleh sebab itu, alangkah lebih baik pemerintah membuat payung hukum terlebih dahulu untuk menegaskan keterlibatan TNI dalam proses memberantas terorisme.
Baca juga: Aksi Satgas Gultor TNI Bebaskan Sandera dari Kelompok Teroris
Sarannya, dibuat undang-undang terkait bantuan militer dalam kasus terorisme atau undang-undang terkait reformasi peradilan militer.
"Langkah hukum bisa kita lakukan, tapi itu upaya terakhir. Kita juga melihat ketika kita menang sebuah gugatan (di Mahkamah Agung) membatalkan Perpres, Keppres (Keputusan Presiden), belum tentu dibatalkan pemerintah," terangnya.
Karena itu, saat ini pihaknya masih akan fokus di tahap pengawasan untuk mengawal pembuatan Perpres tersebut.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.