MASA pemilihan kepala daerah acapkali menjadi masa yang kerap menimbulkan konflik. Kohesi sosial kita sebagai warga negara merenggang, bahkan tak jarang malah berubah menjadi permusuhan.
Kontestasi kepentingan yang mencuat ke ruang publik melalui intrik-intrik politik semestinya berhenti segera setelah pesta demokrasi usai.
Semua pihak harus kembali menggelorakan persatuan di atas hasil kontestasi, sepanas apa pun suasana psikologis pihak-pihak tertentu atas hasil yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, demokrasi sejatinya mengajarkan kearifan kepada semua pihak untuk menerima apa pun hasil kompetisi dan tetap menjunjung persatuan di tengah banyaknya perbedaan yang mencuat selama proses kontestasi.
Negara ini sejatinya berdiri kokoh di atas fondasi persatuan, bukan di atas kepentingan satu atau beberapa kelompok.
Jadi, untuk mendamaikan persatuan dan demokrasi yang cenderung memecah-belah, memang dibutuhkan sebentuk sikap arif dalam menerima apa pun hasil dari kompetisi demokratik.
Signifikansi persatuan dapat kita lacak ke masa-masa penting pendirian bangsa ini. Secara historis, aksi melawan penjajahan dimulai dari organisasi-organisasi yang menyadari bahwa perlawanan terhadap penjajah hanya bisa berhasil jika ada satu konsep persatuan dan kebangsaan yang solid.
Upaya menuju persatuan dan kebangsaan tersebut tidaklah mudah dan membutuhkan proses panjang. Stimulus untuk lahirnya rasa kebangsaan dan persatuan tersebut tidak lahir dengan mudah.
Oleh karena itu, akan sangat berbahaya jika euforia demokrasi justru melunturkan semangat persatuan di antara kita.
Setiap momentum kebangsaan adalah episode sejarah yang tidak terjadi dengan serta merta, tetapi butuh perjuangan.
Perjuangan dalam melahirkan episode kebangkitan nasional itu pun bukanlah perjuangan sederhana.
Tidak terkira besarnya pengorbanan yang telah diberikan para pahlawan pendiri bangsa ini untuk menuliskan kata "Republik Indonesia” dan menyusun benang-benang yang membentuk bendera Merah Putih.
Secara khusus, momentum kebangkitan nasional adalah salah satu momentum krusial yang pernah dihadapi Indonesia. Bahkan masa itu adalah masa di mana sebuah lompatan besar terjadi melampaui konsep kedaerahan, kesukuan, dan sikap serta perilaku tradisional menuju langkah solid membentuk sebuah bangsa.
Indonesia menata diri untuk berserikat secara modern, membangun kekuatan dari susunan orang-orang yang plural, belajar menyelesaikan masalah dengan keputusan dan implementasi kolektif, mengubah dari perjuangan yang spontan menjadi perjuangan yang sistematis dan terencana.
Itulah saat di mana kita menyusun batas atau pagar dari sifat kebangsaan Indonesia. Pagar tersebut tumbuh dalam landasan prinsip-prinsip bernegara. Pagar itu disusun satu demi satu, batu demi batu, hingga kemudian membentuk satu batas bangsa yang jelas: yakni Bangsa Indonesia.