Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Menakar Kata di Ruang Publik

Kompas.com - 01/07/2018, 14:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENGAWALI artikel ini penulis ingin mengucapkan permohonan maaf, karena akan menyebutkan beberapa kata yang tidak pantas. Tidak ada motif lain, hanya sebagai cara menunjukan bahwa sebuah kata menjadi sangat bermakna dalam konteks tertentu.

Sebagaimana sebuah perilaku tidak bisa bebas nilai karena sejatinya terikat dengan kondisi dan situasi yang ada. Izinkan dalam kesempatan ini juga penulis mengambil satu segmen profesi dalam meneropong penggunaan ‘kata’ di ruang publik, wabil khusus untuk para anggota dewan yang dipilih oleh publik untuk mengisi jabatan publik.

Tentu harap penulis, pandangan ini bukan semacam kesinisan personal namun lebih pada cara memberi koreksi konstruktif dari seorang warga (citizen) terhadap salah satu institusi publik (dewan) yang paling menentukan nafas demokrasi.

Awal kisah sebagaimana dikabarkan, seorang warga bernama Ronny Yuniarto Kosasih melaporkan dugaan pengeroyokan yang terjadi di jalur khusus transjakarta, Jalan Arteri Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada 10 Juni 2018, sekitar pukul 22.00 WIB.

Saat menyerahkan barang bukti ke Polres Metro Jakarta Selatan, Kamis (21/6/2018), Ronny dan kuasa hukumnya yakin terduga pengeroyokan itu adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Herman Hery.

Kronologi kejadian versi Ronny, pengeroyokan bermula saat Ronny, istri, dan dua anaknya yang berumur 3 dan 10 tahun ditilang polisi karena masuk jalur bus transjakarta di Jalan Arteri Pondok Indah.

Mobil Rolls Royce bernopol B 88 NTT yang dinaiki Herman Hery berada tepat di belakang mobil Ronny yang juga masuk ke jalur bus transjakarta.

Saat ditilang, Ronny sempat menanyakan kepada polisi yang menilangnya mengapa mobil Rolls Royce yang berada di belakangnya tidak ikut ditilang. Tanpa sebab, Hery tiba-tiba keluar dari mobil dan langsung menemui Ronny.

Hery sempat mengucapkan kata-kata tantangan kepada Ronny. "Enggak lama, pelaku keluar, lalu menghardik korban, terus dia bilang 'Mau apa kamu', langsung ditoyor pakai tangan mukanya. Korban refleks membalas dan satu orang ajudannya (Herman Hery) ikut membalas," kata Febby, Kamis (21/6/2018).

Baca juga: Saling Lapor Ronny dan Sopir Adik Anggota DPR Herman Hery...

Kisah yang lain, saat rangkaian bom terjadi pertengahan bulan Mei tahun 2018 lalu. Dua Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) asal Banyuwangi Basuki Rachmad dari Fraksi Hanura dan Nauval Badri dari Fraksi Gerindra diamankan oleh petugas Bandara Banyuwangi karena bercanda soal bom, Rabu (23/5/2018).

Berulang kali salah satu di antara mereka ditanya oleh petugas bandara terkait isi tasnya. Jawabnya "bom", ironisnya hingga tiga kali jawaban tetap sama, “bom”. Mereka seakan tuna empati, bahwa dalam beberapa pekan terakhir kejadian bom sungguh telah membuat resah dan gelisah.

Lalu tiba-tiba ada beberapa orang di antara kita, menganggap kata "bom" sebagai hal yang biasa. Bukankah perilaku itu menjadi sangat anomali di tengah warga bangsa yang sedang terluka dan ikatan kebersamaan kita terluka.

Baca juga: Bercanda soal Bom, 2 Anggota DPRD Diturunkan dari Pesawat

Ada juga kisah Muhammad Nasir seorang Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada sebuah rapat kerja (raker) dengan mitra secara spontan mengatakan "tai kucing", diluapkan sebagai bentuk kekesalannya terhadap penyelesaian dan penanganan kasus tumpahan minyak mentah di teluk Balikpapan pada Sabtu (31/3/2018) lalu.

Meski tidak viral dan tidak heboh di media, namun tentu saja kata itu terdengar sangat jelas dan nyaring di ruang publik. Saat itu raker secara khusus dihadiri oleh Direksi PT Pertamina, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Polri, Kementerian Perhubungan, publik, dan wartawan.

Kejadin lainnya dalam sebuah rapat kerja, Anggota DPR RI Arteria Dahlan mengucapkan kata kasar “bangsat” saat rapat kerja Komisi III dengan Kejaksaan Agung di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 29 Maret 2018.

Alasannya mengungkapkan diksi itu sebagai bentuk kekesalan terhadap kinerja Kementerian Agama dalam menangani travel umroh yang illegal. Bedanya, atas ucapannya tersebut Arteria menuai kontroversi publik dan viral di media sosial.

Walau pada akhirnya meminta maaf, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini meminta publik jangan melihat diksi, tapi substansi.


Dalih normatif

Kejadian tadi seakan menjadi rentetan cerita pilu dari sejumlah peristiwa yang melibatkan anggota dewan, entah mengapa ini sering terjadi. Dari beberapa contoh di atas, para anggota DPR seringkali berdalih secara normatif ucapan mereka dijamin oleh konstitusi.

Ilustrasi komunikasi di jalan.Autoguide Ilustrasi komunikasi di jalan.
Alasannya karena menyampaikan aspirasi masyarakat bagian dari penggunaan hak imunitas DPR yang diatur dalam Undang-Undang tentang DPR, DPR, DPD dan DPRD atau UU MD3. Atas dasar itu pula segala ucapan meraka tidak bisa diikat dalam hokum, karena mereka adalah manusia leks specialis.

Namun apakah sebuah kata yang berkonotasi buruk dan kasar kemudian dapat menjadi mulia saat diucapkan berbekal hak imunitas itu? Ataukah secara mendasar sesungguhnya bentuk ketidakmampuan mengartikulasikan gagasan dan ide dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat?

Sebuah kata atau kalimat sesungguhnya saat digunakan dalam sebuah situasi memiliki makna dan tafsir. Tidak bisa bebas nilai, apa adanya dan nir risiko. Bagi mereka yang terpilih maka sudah sepantasnya memantaskan diri memilih kata dan mengukur rasa.

Jika memang dari hulu aspirasi tersampaikan kata-kata kasar, maka sampai ke hilir menjadi pemikiran dan sikap yang jernih. Agar pada akhirnya menjadi perhatian yang mudah dicerna oleh penerima. Kita sudah sepantasnya mampu membedakan tegas dengan kasar, lugas dengan ceplas-ceplos

Penggunaan kata kasar dan penuh kebencian oleh sejumlah elit sejatinya bisa jadi merupakan bentuk keputusasaan dalam mengekspresikan sikap. Ada jarak antara kata dengan rasa.

Ruang emosional tidak bisa serta–merta dikonversi menjadi bilik-bilik rasionalitas. Percayalah jangan harapkan perubahan baik akan terjadi dari kata-kata yang buruk, yang ada hanya akan memantik permusuhan.

Alih-alih mendapat simpati, justru antipasti dan kontraproduktif. Maksud hati menuai reaksi positif dan positioning, yang justru menimbulkan kontroversi negatif. Dus, atas sikap yang “sok jago” tersebut hari-hari ini seringkali menjadi sumber keriuhan yang tidak pernah bertepi dan tidak berfaedah sama sekali dalam ruang publik.

Ada baiknya bagi tokoh publik, baik dalam balutan jabatan ataupun tidak harus memahami bahwa apa yang menjadi ucapannya akan memiliki konsekuensi logis pada sistem sosial.

Kata adalah bagian dari sistem komunikasi, yang secara suprastruktur menjadi bagian tidak terpisahkan dari sistem sosial. Ahli sosiologi Ogbum dan Nimkoff mendefinisikan sistem sosial sebagai keragaman individu yang berinteraksi satu sama lain, menurut makna dan norma kultural yang disepakati bersama.

Alih-alih, membuat kata yang menginspirasi. Justru akibat sejumlah tokoh publik hari-hari ini mengeluarkan kata-kata polemik, kita menyaksikan telalu banyak laporan kepada pihak kepolisian akibat ‘keseleo kata’.

Imbasnya, selera kita dengan kata, mengalami degradasi yang luar biasa lebah. Di saat masyarakat kita memiliki literasi yang kurang dan jarang membaca, di sisi lain seringkali terpapar kata-kata yang buruk.


Ruang privat, personal, dan publik

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis alokasi kursi pada 2019 untuk DPR mengalami peningkatan dari 560 kursi menjadi 575 kursi. Untuk alokasi DPRD Provinsi sebesar 2.207 kursi, dari tahun sebelumnya sebesar 2.112. Sedangkan untuk DPRD Kabupaten/Kota menjadi 17.610 kursi atau bertambah 715 kursi dari tahun 2014.

Dari rincian tersebut, total jumlah kursi pada Pemilu 2019 menjadi 20.392 kursi atau bertambah 825 kursi dibanding Pemilu 2014.

Catatan angka tersebut, menurut penulis menjadi perhatian penting bagi kita semua untuk menjalani pesta demokrasi tahun 2019 yang akan datang. Karena di pemilu esok sejatinya kita tidak hanya akan memilih calon presiden dan wakil presiden, namun juga hampir 20.392 orang calon anggota legislatif.

Bisa dibayangkan jika yang terpilih pada umumnya adalah pribadi yang berjiwa pongah, berbahasa serampangan dan berperilaku tak patut. Demokrasi hanya akan menjadi sarana pentasbih pribadi yang tak elok, masuk ke labirin kekuasaan dengan mudah.

Memang kita tidak bisa terjebak hanya dengan polesan kata dan manisnya pidato, namun dalam ruang public yang semakin terbuka dibutuhkan sosok panutan yang bertanggung jawab dengan ucapan.

Ironisnya selama ini kita lebih sering mengukur kata, tindak tanduk, dan perilaku kandidat presiden dan wakil presiden, padahal ada puluhan ribu orang yang akan kita pilih yang juga setiap kata dan jiwanya harus teruji mewakili perasaan publik.

Penulis sadari ini bukan pekerjaan mudah dan murah, tapi ini harus ditempuh bagi publik yang semakin terinformasi. Agar informasi itu menjadi memiliki manfaat dalam ruang demokrasi kita dan bukan hanya sebagia sumber konflik yang berkepenjangan.

Check and re-check, calon anggota legislatif menjadi penting untuk memastikan bahwa orang tersebut tidak hanya akan dititipkan sejumlah kewenangan, namun juga mampu bertanggungjawab dengan apa yang diembannya.

Baca juga: Pemilu 2019, Jumlah Kursi Anggota DPRD Berjumlah 19.817

Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog menjelaskan bahwa dalam sebuah interaksi soial terdapat zona spasial yang meliputi jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak publik. Dari setiap jarak tersebut ada kata yang satu sama lain berbeda maknanya untuk mewakili pesan yang terjadi antara satu dengan yang lainnya.

Kemampuan menempatkan kata inilah yang sudah sepantasanya dimiliki oleh seluruh pejabat publik, semisal ungkapan "kongkow" yang bisa jadi nyaman dalam relasi personal namun akan mendapat tanggapan yang berbeda jika direproduksi dalam ruang publik yang lebih heterogen.

Hari-hari ini, dalam banyak kesempatan sejumlah tokoh publik banyak mengeluarkan kata-kata memantik bara, hingga pada akhirnya kita saksikan banyak laporan di kantor kepolisian akibat "keseleo lidah".

Semisal “Partai Allah vs Partai Setan”, “Cebong”, “Onta”,“Dungu” dan lain sebagainya. Selera kita dengan kata mengalami degradasi yang luar biasa, setiap hari kata-kata baik jarang digunakan terganti degan ucapan buruk. Padahal masyarakat kita memiliki literasi yang tidak kunjung membaik dan jarang membaca, tragisnya seringkali terpapar kata-kata yang buruk.

Padahal jika kita mau cermati, cukup banyak kearifan lokal (local wisdom) yang bisa dijadikan rujukan dalam penggunaan kata di ruang publik, sebut saja tingkat tutur dalam bahasa Jawa yaitu tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, dan tingkat tutur krama.

Pun dengan masyarakat sunda yang memiliki undak usuk basa, adalah tingkat yang dimiliki sebuah bahasa yang terkait dengan kepada siapa ia digunakan.

Selaras dengan itu, bahasa Sasak terdapat sistem tindak tutur yang terbagi menjadi 5 tingkatan (Husnan, dkk, 2007 dan 2008). Masing-masing tingkatan memiliki fungsi dan tujuan tertentu yang berkaitan dengan konsep penghormatan pada orang lain.

Seluruh kearifan bahasa lokal tersebut, pada umumnya meneguhkan kata dengan jarak lawan bicara. Semakin tua lawan bicara yang dihadapi semakin halus kosa kata yang digunakan.

Begitu pula semakin tinggi kedudukan lawan bicara, semakin halus pula kosa kata yang digunakan untuk menyapa dan berkomunikasi dengannya.

Tentu saja para pejabat publik tidak harus paham dan mempelajari secara detail seluruh kerumitan bahasa tersebut, namun ada baiknya memahami bahwa bahasa dan kata harus sepadan dengan situasi maupun orang yang dihadapi.

Sudirman Wilian dalam tulisannya "Tingkat Tutur Dalam Bahasa Sasak dan Bahasa Jawa" menjelaskan dalam setiap masyarakat penutur suatu bahasa pastilah dikenal bentuk-bentuk kesantunan untuk menyatakan hormat dalam berkomunikasi atau bertindak tutur antarsesama.

Setiap bahasa memiliki cara-cara tertentu untuk menunjukkan sikap hubungan antara orang yang berbicara dan lawan bicaranya yang dapat menunjukkan tingkat kesantunan di antara kedua belah pihak.

Salah satu representasi kesantunan dalam bertindak tutur itu adalah pemakaian bentuk-bentuk ungkapan atau keberadaan tingkat tutur yang membedakan apakah suatu tuturan (ucapan) seseorang itu santun atau tidak.

Ingat kata-kata Paman Ben, dari film Spiderman, “Dengan kekuatan yang besar, timbul tanggung jawab yang besar pula.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

PKB: Semua Partai Terima Penetapan Prabowo-Gibran, kecuali yang Gugat ke PTUN

Nasional
Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

Ukir Sejarah, Walkot Surabaya Terima Penghargaan Satyalancana Karya Bhakti Praja Nugraha

BrandzView
Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Jokowi dan Gibran Disebut Bukan Bagian PDI-P, Kaesang: Saya Enggak Ikut Urusi Dapurnya

Nasional
Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Helikopter Panther dan KRI Diponegoro Latihan Pengiriman Barang di Laut Mediterania

Nasional
Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Kaesang Sebut PSI Sudah Kantongi Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta

Nasional
Hasto: Di Tengah Panah 'Money Politic' dan 'Abuse of Power', PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Hasto: Di Tengah Panah "Money Politic" dan "Abuse of Power", PDI-P Masih Mampu Jadi Nomor 1

Nasional
Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Jokowi Suntik Modal Hutama Karya Rp 18,6 T untuk Pembangunan Tol Sumatera

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com