JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia awalnya menilai, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) masih memiliki aset yang cukup untuk melunasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang disalurkan sebesar Rp 10 triliun. Namun, pada kenyataannya, BDNI bermasalah dan tak mampu melunasi.
Hal itu dikatakan mantan Direktur Pengawasan Bank pada Bank Indonesia, Iwan Ridwan Prawiranata saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Iwan bersaksi untuk terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.
Baca juga: Pengacara Syafruddin Sebut Korupsi BLBI Terjadi Akibat Pengawasan BI yang Lemah
"Kalau saya tidak salah lihat neraca, masih cukup. Pokoknya, waktu itu asetnya masih lebih besar dari kewajiban," ujar Iwan.
Awalnya, pada September hingga Desember 1997, BDNI mendapat dana talangan BLBI sebesar Rp 10 triliun. Menurut Iwan, aset yang dimiliki BDNI lebih besar dari jumlah dana nasabah dan dana antar bank yang menjadi kewajiban BDNI.
Namun, menurut Iwan, ada penarikan uang cukup besar pada Januari sampai Maret 1998. Hal itu membuat BDNI tidak cukup melunasi pinjaman BLBI.
"Karena asetnya tidak cukup, bank-nya ditutup, di-take over," kata Iwan.
Meski demikian, proses pengembalian uang BLBI tetap dilakukan terhadap pemegang saham bank. Selanjutnya, hal itu ditangani oleh BPPN.
Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.
Baca juga: Mantan Kepala BPPN Akui Ada Penyalahgunaan Dana BLBI oleh Sjamsul Nursalim
Menurut jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN. Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi).