Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masuknya Pidana HAM dalam RKUHP Berpotensi Membuat Rancu Penegak Hukum

Kompas.com - 09/06/2018, 08:43 WIB
Kristian Erdianto,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Putri Kanesia, menilai masuknya ketentuan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia (HAM) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan membingungkan penegak hukum.

Pasalnya, tindak pidana berat terkait HAM sudah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM).

Selain itu, terdapat pula perbedaan norma hukum dalam kedua undang-undang tersebut.

"Sudah pasti bakalan bikin rancu aparat penegak hukum," ujar Putri saat dihubungi, Jumat (8/6/2018).

Baca juga: Komnas HAM Nilai RKUHP Lumpuhkan Penuntasan Kejahatan HAM Masa Lalu

Kerancuan dan perbedaan norma hukum tindak pidana terhadap HAM, kata Putri, berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi keluarga korban.

Ia mencontohkan soal ketentuan pertanggungjawaban komando yang tidak diatur dalam RKUHP. Dengan demikian, hanya pelaku lapangan saja yang dapat diadili di pengadilan.

Menurut Putri, hal itu tak sesuai dengan asas hukum yang diatur dalam UU Pengadilan HAM.

Pasal 42 UU Pengadilan HAM menyebutkan, komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukannya.

Artinya, jika suatu pelanggaran HAM dilakukan oleh pihak militer, maka komandan tertinggi lembaga tersebut bisa diadili sesuai dengan tindak pidana yang terjadi.

"Ini menutup peluang untuk mendorong penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan upaya korban untuk mendapatkan keadilan, karena enggak menyebutkan spesifik soal pertanggungjawaban komando, hanya pelaku lapangan," kata Putri.

Baca juga: Berdasarkan RKUHP, Hanya Pelaku Lapangan yang Diadili Terkait Pelanggaran HAM

Persoalan lainnya, lanjut Putri, pengaturan pidana HAM dalam RKUHP berpotensi menutup upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu atau yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM diterbitkan.

Ia menjelaskan, dengan diaturnya tindak pidana HAM di RKUHP maka kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu tidak dapat diproses secara hukum.

Sebab, KUHP memiliki asas non-retroaktif atau tidak berlaku surut. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP.

Lantas, kasus HAM yang terjadi sebelum undang-undang itu dibuat tidak dapat diproses secara hukum.

Sementara, UU Pengadilan HAM menganut asas retroaktif. Kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diproses melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc.

"Soal asas non retroaktif dalam kasus pelanggaran HAM bertentangan dengan UU Pengadilan HAM yang menganut asas retroaktif," ucap Putri.

Saat ini ada tujuh kasus pelanggaran HAM yang belum diusut tuntas. Meski berkas penyelidikan Komnas HAM telah diserahkan ke Kejaksaan Agung, namun belum ada proses penyidikannya.

Ketujuh kasus itu adalah Kasus Penembakan Trisakti, Semanggi I dan II; peristiwa penghilangan paksa pada 1997-1998; Tragedi Mei 1998; Kasus Talang Sari; Kasus Penembakan Misterius; Tragedi 1965-1966; serta Kasus Wasior dan Wamena.

Kompas TV Massa dari sejumlah organisasi, Sabtu (11/3) menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, meminta agar pembahasan RUU KUHP dihentikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com