JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam melihat keberadaan pasal kejahatan HAM berat dalam RKUHP bisa mengganggu penyelesaian kejahatan HAM berat masa lalu.
Hal itu karena pasal kejahatan kemanusiaan di RKUHP memakai asas kadaluarsa. Sementara kejahatan HAM berat tak mengenal asas tersebut.
Ketika suatu pihak sedang berkuasa dan melakukan kejahatan HAM berat, kasus tersebut sulit diadili karena melibatkan struktur kekuasaan keseluruhan. Sehingga, kejahatan tersebut biasanya bisa diusut ketika rezim pemerintahan berganti.
Dengan demikian, penanganan kasus kejahatan HAM berat tak mengenal batas waktu agar tetap bisa diusut.
"Kalau dipakai asas kadaluarsa ya habis. Misal, kasus-kasus di Orde Baru ya bisa habis," kata Anam dalam diskusi Implikasi Kodifikasi terhadap Kejahatan Luar Biasa dan Terorganisir di edung KPK, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Baca juga: Jaksa Agung: Bukti Minim, Siapapun Pemimpin Sulit Bawa Kasus HAM ke Peradilan
Menurut dia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia tak mengenal asas kadaluarsa dalam penuntasan kejahatan HAM. Jika RKUHP disahkan, UU Pengadilan HAM berpotensi dikesampingkan.
"Kami tidak bisa membayangkan kalau asas kadaluarsa itu ada, ya, wassalam, tidak ada penegakan hukum kejahatan HAM masa lalu," kata Anam.
Anam khawatir, RKUHP ini semakin menghilangkan upaya penuntasan kasus kejahatan HAM berat. Ia mengungkapkan, saat ini juga masih banyak kasus kejahatan HAM yang tak jelas penyelesaiannya, bahkan terbengkalai.
"Perumusan RKUHP kejahahatan kemanusiaan disebutkan dilakukan oleh 'barang siapa melakukan', lah itu kan harus ditunjukkan mens rea-nya (niat jahat)," kata dia.
Baca juga: Dewan Kerukunan Nasional Bakal Selesaikan Kasus HAM Masa Lalu Tanpa Peradilan
Padahal, kata Anam undang-undang sebelumnya cukup melihat kejahatan HAM-nya tanpa harus membuktikan dulu niat jahat dari pelaku kejahatan HAM.
"Misalnya saya seorang kolonel berbuat jahat, saya bisa saja bilang, 'saya enggak punya niat jahat kok, demi pembangunan negeri ini, gusur dikit dan tembak enggak papa', itu semakin susah pembuktiannya," papar Anam.
Selain itu, RKUHP tersebut bisa mengaburkan pihak-pihak yang paling bertanggungjawab dalam kejahatan HAM berat. Dan lembaga penegak hukum hanya bisa menjerat pelaku-pelaku di lapangan saja.
Baca juga: Komnas HAM Sebut Penuntasan Kasus HAM 1965-1966 Terkendala Wiranto
"Karena dalam konteks kejahatan HAM yang dikejar siapa yang bertanggung jawab. Kalau makai RKUHP dibandingkan undang-undang sebelumnya berbeda logika berpikirnya," papar dia.
Oleh karena itu, Komnas HAM menolak substansi pasal kejahatan kemanusiaan masuk di dalam RKUHP. Ia menuturkan, pihaknya sudah mengirimkan surat sebanyak dua kali kepada Presiden Joko Widodo. Dalam surat itu, Komnas HAM meminta Jokowi untuk mendukung dikeluarkannya pasal-pasal kejahatan khusus dari RKUHP.
"Ibaratnya kalau trennya dokter umum sedikit, tapi dokter spesialisnya banyak kan lebih efektif (penanganannya)," ujar Anam.