JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia mengatakan, masuknya ketentuan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia (HAM) dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan menimbulkan ketidakadilan bagi keluarga korban.
Menurut Putri, pengaturan pidana HAM dalam RKUHP berpotensi menutup upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
Pelanggaran berat HAM masa lalu terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM diterbitkan.
"(Pengaturan) ini menutup peluang untuk mendorong penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan upaya korban untuk mendapatkan keadilan," ujar Putri saat dihubungi, Jumat (8/6/2018).
Baca juga: Komnas HAM Nilai RKUHP Lumpuhkan Penuntasan Kejahatan HAM Masa Lalu
Putri menjelaskan, dengan diaturnya tindak pidana HAM dalam RKUHP maka kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu tidak dapat diproses secara hukum.
Sebab, KUHP memiliki asas non-retroaktif atau tidak berlaku surut. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 1 Ayat (1) RKUHP.
Artinya, kasus HAM yang terjadi sebelum undang-undang itu dibuat tidak dapat diproses secara hukum.
Sementara itu, UU Pengadilan HAM menganut asas retroaktif. Kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diproses melalui mekanisme Pengadilan HAM ad hoc.
"Soal asas non retroaktif dalam kasus pelanggaran HAM bertentangan dengan UU Pengadilan HAM yang menganut asas retroaktif," kata Putri.
Baca juga: Muhammadiyah Pertanyakan Janji Nawa Cita Jokowi soal HAM
Saat ini ada tujuh kasus pelanggaran HAM yang belum diusut tuntas. Meski berkas penyelidikan Komnas HAM telah diserahkan ke Kejaksaan Agung, namun belum ada proses penyidikannya.
Ketujuh kasus itu adalah Kasus Semanggi I dan II, peristiwa penghilangan paksa pada 1997-1998, Tragedi Mei 1998, Kasus Talang Sari, Kasus Penembakan Misterius, Tragedi 1965-1966, serta Kasus Wasior dan Wamena.