Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perparah Krisis Lingkungan, Negara Diharapkan Tak Bergantung pada Industri Ekstraktif

Kompas.com - 29/05/2018, 09:52 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Khalisa Khalid menjelaskan, negara harus segera beralih dari industri ekstraktif ke industri berbasis pemulihan dan ramah lingkungan.

Khalisa melihat perkembangan industri ekstraktif di Indonesia sudah membawa dampak ekologis yang mengkhawatirkan.

"Kita melihat bahwa industri ekstraktif ini selain kotor juga rakus dan memang yang kita yakini harus kita ubah," kata Khalisa dalam diskusi bertajuk Tambang Tunggangi Politik Indonesia di Kafe Diskaz Rumah Pekerja, Jakarta, Senin (28/5/2018).

Baca juga: Masyarakat Diharapkan Kritis Melihat Kebijakan Lingkungan Hidup Peserta Pilkada

Khalisa berkaca pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menunjukkan sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia akibat krisis ekologis. Harusnya situasi ini menyadarkan seluruh elemen penyelenggara negara untuk mengambil tindakan.

"Terkait dengan kerugian negara, akibat kerusakan lingkungan itu tidak dihitung. Selama ini itu (anggaran penanganan kerusakan lingkungan) tidak masuk dalam logika anggaran negara," kata dia.

Di sisi lain, klaim pendapatan terbesar negara dari sektor energi dan sumber daya mineral dan menjadikannya sebagai sandaran utama ekonomi, justru akan membuat Indonesia semakin terjerumus dalam krisis lingkungan.

Baca juga: Krisis Ekologis Dianggap Belum Jadi Perhatian Utama Peserta Pilkada

"Kalau kita bergantung pada industri ekstraktif maka sebenarnya kita akan menuju collapse. Misalnya, di Samarinda, banjir itu sering terjadi, di mana lubang tambang itu ada di depan pintu dapur warga. Dan nyawa anak-anak juga melayang akibat tambang, apakah itu bisa dihitung oleh negara?," ujar Khalisa.

Padahal, kata dia, anak-anak terdampak industri ekstraktif juga memiliki hak hidup. Mereka juga diharapkan akan jadi calon pemimpin yang lebih baik. Namun hak anak-anak ataupun masyarakat korban terdampak industri ekstraktif telah dirampas.

"Mereka punya hak untuk hidup tapi negara merampasnya secara paksa melalui kebijakan ekstraktif tambang," katanya.

Baca juga: Jelang Tahun Politik, Pemberian Izin Pengelolaan SDA Dinilai Tak Terkontrol

Ia meminta agar seluruh penyelenggara negara, partai politik dan calon pemimpin yang mengikuti kontestasi politik tak lagi menjadikan industri ekstraktif sebagai sandaran kebijakan ekonomi.

"Karena daya rusaknya sudah tinggi, krisisnya semakin masif. Kalau tidak merubah cara pandang model ekonomi pemerintahan ke depan, baik di daerah atau pusat, kami memastikan kita akan menuju ke situasi yang bangkrut baik secara sosiologis dan ekologis," kata dia.

Kompas TV Izin ekspor diberikan selama setahun dengan volume sebanyak 1,25 juta ton.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com