JAKARTA, KOMPAS.com - Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyoroti beberapa ketentuan dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme).
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas menuturkan, pihaknya sangat mendukung upaya percepatan pengesahan RUU Antiterorisme.
Meski demikian ia menegaskan upaya pemberantasan terorisme harus tetap berada dalam koridor penegakan hukum (rule of law) dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Pada Senin (21/5/2018) lalu, dia menyerahkan hasil kajian terkait RUU Antiterorisme kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Baca juga: Ketum PP Muhammadiyah: Ingat, Radikalisme Juga Ada di Politik
Dalam hasil kajian yang disiapkan sejak 2016 itu memuat sejumlah ketentuan dan rekomendasi PP Muhammadiyah.
1. Pelibatan TNI
Busyro meminta pemerintah dan DPR hati-hati dalam mengatur mekanisme pelibatan TNI terkait pemberantasan terorisme.
"Pelibatan TNI memerlukan kehati-hatian karena ketentuan dalam undang-undang, pemberantasan tindak pidana terorisme dimaksudkan dalam koridor penegakan hukum, yang tidak terlepas dari sistem peradilan pidana," ujar Busyro.
Baca juga: Perpres Pelibatan TNI untuk Berantas Terorisme Harus Sesuai UU TNI
Menurut Busyro pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme hanya dapat dilakukan dalam kondisi darurat dan menjadi pilihan terakhir.
Oleh sebab itu, pelibatan TNI harus melalui keputusan politik presiden bersama DPR.
Selain itu, lanjut Busyro, pelibatan TNI harus bersifat sementara. Artinya jika kondisi darurat berakhir maka keterlibatan TNI juga harus berakhir.
Baca juga: JK: Koordinasi TNI-Polri Atasi Terorisme Diperlukan agar Tak Terjadi Friksi
Anggota TNI yang terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme pun harus terikat dengan peradilan umum, apabila diduga melakukan pelanggaran hukum saat melakukan tugasnya.
"Ketentuan ini (pelibatan TNI) hanya memperkuat ketentuan yang telah ada dalam UU TNI," kata Busyro.
Draf RUU Antiterorisme per 18 April 2018 menyebut bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang.
Baca juga: PKS: Pemerintah Blunder jika Aktifkan Koopsusgab TNI Tanpa Payung Hukum
Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) menyatakan bahwa TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang.
Sementara pada Pasal 5 UU TNI, TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Keputusan politik negara adalah kebijakan politik pemerintah bersama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja.