JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan era Orde Baru Fuad Bawazier menjelaskan perbedaan pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi pada saat krisis ekonomi 1998 dan yang terjadi saat ini.
Seperti diketahui, pekan ini, nilai tukar rupiah menembus Rp 14.000 per dollar AS.
"Dulu saat 1998 tekanan kurs jauh lebih besar dari sekarang, dari Rp 2.400 jadi Rp 10.000 (per dollar AS)," kata Fuad dalam diskusi di Kantor DPP PAN, Jakarta, Rabu (9/5/2018).
Meskipun demikian, ujar anggota Dewan Pembina Partai Gerindra ini, ada perbedaan mendasar terkait kondisi pelemahan rupiah pada masa krisis 1998 dengan saat ini.
Menurut Fuad, pada 1998, kondisi keuangan pemerintah cenderung kuat.
Baca juga : Rupiah Melemah, Menko Darmin Sebut BI Hanya Punya 2 Pilihan
Pemerintah, lanjut dia, tidak memiliki masalah dari sudut penerimaan negara maupun dari sisi utang. Dengan kata lain, pemerintah tidak memiliki persoalan dari sisi fiskal.
Sementara yang terjadi pada saat ini sumber persoalan justru berasal dari pemerintah, bukan dari swasta.
"Dulu swasta bisa ditolong pemerintah karena pemerintah kuat, sekarang masalahnya di pemerintah. Walau serangan terhadap kurs tidak sebesar dulu, tapi bahayanya besar," tutur Fuad.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan situasi pasar yang sedang melakukan penyesuaian terhadap perubahan kebijakan di AS.
Baca juga : Dirut BEI: Pelemahan Rupiah Terkait 2 Hal, Apa Solusinya?
Sri Mulyani menyebut, pemerintah terus berkoordinasi menjaga kinerja perekonomian Indonesia tetap baik sambil sama-sama melakukan penyesuaian.
"Kami akan terus menjaga perekonomian Indonesia, fondasi kami perkuat, kinerja kami perbaiki, hingga apa yang disebut sentimen market (pasar) itu relatif bisa netral terhadap Indonesia," tutur Sri Mulyani.