PADA sebuah forum ngopi dan kongkow bersama teman-teman aktivis di Malaysia di kawasan Putra Jaya, saya menemukan kejutan bahwa anti-semitisme masih tetap membeku dalam alam kesadaran warga negeri itu.
Ehsan, kawan karib saya, menceritakan bagaimana generasi muda seusianya mendapatkan "warisan cara pandang" terhadap kelompok Yahudi dari generasi sebelumnya. Dalam ceritanya, komunitas Yahudi tidak pernah dia temui sepanjang perjalanan hidupnya, yang itu hampir empat puluh tahun.
"Kebencian terhadap Yahudi sangat tinggi dalam kultur warga negeri kami. Padahal, kami tidak pernah sekali pun bertemu dengan mereka, kelompok warga Yahudi,” ungkap Ehsan, waktu itu.
Di Malaysia, kebencian terhadap kelompok Yahudi sangat tinggi, sekitar 61 persen. Sebuah laporan riset dari Anti-Defamation League (ADL) merilis, isu anti-semitisme sangat tinggi di Malaysia.
Namun, gaung anti-semitisme bukan monopoli negeri jiran. Anti-semitisme yang meningkat juga memicu serangan terhadap komunitas Yahudi di seluruh dunia.
Pada 2014, misalnya, tercatat 141 insiden kekerasan terhadap Yahudi di Inggris, meningkat 46 kasus dibanding pada 2013. Hal serupa terjadi di Prancis, dari 141 kasus pada 2013 menjadi 164 kejadian pada 2014, sementara di Italia terjadi 23 kasus dan Jerman ada 76 kasus pada tahun yang sama.
Lalu, mengapa anti-semitisme sangat tinggi di Malaysia?
Di negeri ini, anti-Yahudi disemai oleh politisi yang memegang kuasa. Selanjutnya, isu anti-semitisme menyebar di masyarakat, menjadi bagian dari cara pandang warga Malaysia melihat Yahudi, termasuk memandang Israel.
(Baca juga: Islam Indonesia dan Narasi Anti-semitisme)
Sejak merdeka pada 1957, Pemerintah Malaysia menolak membangun kerja sama diplomatik dengan Israel. Lalu, pada 1968, ketika sebuah kapal Israel mendekat ke kawasan Malaysia, sejumlah pelaut tidak boleh turun melempar sauh. Pada 1974, kerja sama perdagangan dengan Israel tidak diperbolehkan.
Di panggung kekuasaan Malaysia, kita bisa melihat bagaimana suara-suara nyaring yang mengutuk Israel terdengar, memberi pengaruh kuat terhadap publik setempat. Mahathir Mohamad yang menjadi Perdana Menteri Malaysia pada 1981-2003, misalnya, menyerukan secara lantang kebenciannya terhadap Israel.
Ketika Israel menyerang Lebanon pada 1983, Mahathir berpidato keras, mengecam langkah pemerintah Israel. Ia menyatakan, “Jewish state is the most immoral country in the world.”
Di bawah kekuasaan Mahathir, organisasi pergerakan Palestina mendapat ruang gerak yang cukup lebar di Malaysia. Palestine Liberation Organization (PLO) berkantor di Kuala Lumpur dan diakui secara diplomatik oleh pemerintah Malaysia.
Mendiang pemimpin PLO, Yasser Arafat (1929-2004), juga berkawan dekat dengan Mahathir Mohammad. Kunjungan Arafat pada Juli 1984 juta mendapat perhatian luas publik Malaysia.
Tentu saja, itu merupakan kunjungan diplomatik yang penting dari Yasser Arafat, untuk membangun komunikasi antarnegara yang sama-sama menolak langkah politik Israel.
Rabbi Abraham Cooper, dalam esainya "In Malaysia, When in Doubt, Blame the Jews"—seperti dimuat Huffingtonpost edisi 22 Juli 2012—mengungkap, betapa Pemerintah Malaysia mendorong isu anti-semit dalam kultur masyarakatnya.