Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munawir Aziz
Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Penulis Sejumlah Buku

Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, menulis buku Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas dan Strategi Kebudayaan (Kompas, 2020) dan Melawan Antisemitisme (forthcoming, 2020).

Salah Kaprah Anti-semitisme, Cerita dari Malaysia

Kompas.com - 30/04/2018, 11:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


PADA
sebuah forum ngopi dan kongkow bersama teman-teman aktivis di Malaysia di kawasan Putra Jaya, saya menemukan kejutan bahwa anti-semitisme masih tetap membeku dalam alam kesadaran warga negeri itu.

Ehsan, kawan karib saya, menceritakan bagaimana generasi muda seusianya mendapatkan "warisan cara pandang" terhadap kelompok Yahudi dari generasi sebelumnya. Dalam ceritanya, komunitas Yahudi tidak pernah dia temui sepanjang perjalanan hidupnya, yang itu hampir empat puluh tahun.

"Kebencian terhadap Yahudi sangat tinggi dalam kultur warga negeri kami. Padahal, kami tidak pernah sekali pun bertemu dengan mereka, kelompok warga Yahudi,” ungkap Ehsan, waktu itu.

Di Malaysia, kebencian terhadap kelompok Yahudi sangat tinggi, sekitar 61 persen. Sebuah laporan riset dari Anti-Defamation League (ADL) merilis, isu anti-semitisme sangat tinggi di Malaysia.

Namun, gaung anti-semitisme bukan monopoli negeri jiran. Anti-semitisme yang meningkat juga memicu serangan terhadap komunitas Yahudi di seluruh dunia.

Pada 2014, misalnya, tercatat 141 insiden kekerasan terhadap Yahudi di Inggris, meningkat 46 kasus dibanding pada 2013. Hal serupa terjadi di Prancis, dari 141 kasus pada 2013 menjadi 164 kejadian pada 2014, sementara di Italia terjadi 23 kasus dan Jerman ada 76 kasus pada tahun yang sama.

Lalu, mengapa anti-semitisme sangat tinggi di Malaysia?

Di negeri ini, anti-Yahudi disemai oleh politisi yang memegang kuasa. Selanjutnya, isu anti-semitisme menyebar di masyarakat, menjadi bagian dari cara pandang warga Malaysia melihat Yahudi, termasuk memandang Israel.

(Baca juga: Islam Indonesia dan Narasi Anti-semitisme)

Sejak merdeka pada 1957, Pemerintah Malaysia menolak membangun kerja sama diplomatik dengan Israel. Lalu, pada 1968, ketika sebuah kapal Israel mendekat ke kawasan Malaysia, sejumlah pelaut tidak boleh turun melempar sauh. Pada 1974, kerja sama perdagangan dengan Israel tidak diperbolehkan.

Di panggung kekuasaan Malaysia, kita bisa melihat bagaimana suara-suara nyaring yang mengutuk Israel terdengar, memberi pengaruh kuat terhadap publik setempat. Mahathir Mohamad yang menjadi Perdana Menteri Malaysia pada 1981-2003, misalnya, menyerukan secara lantang kebenciannya terhadap Israel.

Ketika Israel menyerang Lebanon pada 1983, Mahathir berpidato keras, mengecam langkah pemerintah Israel. Ia menyatakan, “Jewish state is the most immoral country in the world.

Di bawah kekuasaan Mahathir, organisasi pergerakan Palestina mendapat ruang gerak yang cukup lebar di Malaysia. Palestine Liberation Organization (PLO) berkantor di Kuala Lumpur dan diakui secara diplomatik oleh pemerintah Malaysia.

Mendiang pemimpin PLO, Yasser Arafat (1929-2004), juga berkawan dekat dengan Mahathir Mohammad. Kunjungan Arafat pada Juli 1984 juta mendapat perhatian luas publik Malaysia.

Tentu saja, itu merupakan kunjungan diplomatik yang penting dari Yasser Arafat, untuk membangun komunikasi antarnegara yang sama-sama menolak langkah politik Israel.

Rabbi Abraham Cooper, dalam esainya "In Malaysia, When in Doubt, Blame the Jews"—seperti dimuat Huffingtonpost edisi 22 Juli 2012—mengungkap, betapa Pemerintah Malaysia mendorong isu anti-semit dalam kultur masyarakatnya.

PM Mahathir secara terus-menerus menggaungkan isu ini untuk mengonsolidasi barisan pemilihnya agar memiliki imajinasi yang sama.

Pada Agustus 1984, misalnya, agenda konser New York Philharmonic Orchestra dibatalkan sepihak. Apa yang salah? Ernst Bloch, komposer dari orkestra itu dianggap sebagai orang Yahudi dan beberapa komposisi yang akan ditampilkan berasal dari melodi Hebrew.

Lalu, pada 1986, Mahathir juga menolak izin terbit The Asia Wall Street Journal selama tiga bulan. Alasannya, media ini dianggap dikendalikan oleh orang Yahudi.

Mahathir mengembuskan ketakutan sekaligus kebencian pada simbol-simbol Yahudi serta zionis di ruang publik, yang mempengaruhi persepsi warga Malaysia. Pada 1997, Mahathir berpidato, “We are Moslems, and the Jews are not happy to see Moslems progress.”

Masalahnya, di Malaysia anti-semitisme berkembang dengan ketiadaan interaksi sama sekali dengan komunitas Yahudi. Anti-semitisme yang diembuskan penguasa untuk membangun imajinasi "Yahudi membenci kemajuan Islam" merupakan kampanye politik.

Padahal, warga Malaysia bahkan tidak pernah—untuk tidak menyebut jarang sekali—berinteraksi dengan komunitas Yahudi di negeri itu. Ruang publik yang memfasilitasi interaksi ini nyaris tidak ada.

Moshe Yegar, seorang diplomat Israel, menyebut kondisi ini sebagai "Anti-Semitism without Jews".

Salah kaprah narasi anti-semitisme

Semitisme sebenarnya penyebutan yang ditujukan kepada sejumlah ras manusia, termasuk Yahudi, Arab, Suryaniah, Babilonia, Kan’an, Malteses, dan beberapa ras lain, yang sebagian besar bermukim di Timur Tengah.

(Baca juga: Membangun Narasi Keberagaman)

Namun, istilah anti-semitisme kemudian mengalami pergeseran, lebih ditujukan sebagai kebencian terhadap kelompok Yahudi, terutama sejak akhir abad XIX.

Jurnalis Jerman, Wilhelm Marr, pada 1879 mempublikasikan pamflet "Der Weg zum Siege des Germanenthums uber das Judentum"—terjemahan bebasnya kurang lebih, "Cara kemenangan Jerman atas Yahudi"—yang seolah mem-framing bahwa anti-semitisme dikhususkan hanya kepada komunitas Yahudi.

Di Indonesia, anti-semitisme juga mengakar dalam kultur dan cara pandang warga negeri ini. Riset Martin van Bruinessen berjudul "Yahudi sebagai Simbol dalam Wacana Pemikiran Islam Indonesia Masa Kini" melacak ketertarikan warga Indonesia terhadap isu anti-semitisme.

Menurut van Bruinessen, anti-semitisme di Indonesia mulai merebak pada 1980-an, terutama setelah terbitnya buku-buku tentang gerakan Freemason sebagai organisasi klandestin orang Yahudi.

Pada kurun itu mulai beredar juga buku yang mengungkap isu anti-semit terbitan Liga Muslim Dunia atau Rabithah al-‘Alam al-Islami.

James Siegel, Indonesianis yang meriset isu-isu anti-semitisme dan politik minoritas, mengungkap, “Sejak lama telah ada anti-semitisme di Indonesia dan meningkat secara drastis pada masa pemerintahan Soeharto.”

Ungkapan Siegel tersebut termaktub dalam karya riset berjudul "Kiblat and the Mediatic Jew" pada Jurnal Indonesia edisi Nomor 69/2000 terbitan Cornell University. Lebih jauh, Siegel melacak keberadaan Protocols of the Elders of Zion yang turut menjadi literatur utama anti-semitisme.

Padahal, teks “Protocols of the Elders of Zion” sampai sekarang masih diperdebatkan keabsahannya sebagai teks yang dicipta oleh jaringan Zionis. Pada versi lain, teks ini disebut sengaja diciptakan oleh barisan politik di Jerman sebagai bagian pertarungan narasi.

Bagaimana menarik pelajaran dari kisah-kisah yang terhampar di Malaysia dan catatan soal salah kaprah dalam isu anti-semitisme ini?

Kiranya perlu ada kedewasaan dari warga Indonesia untuk membaca dan berinteraksi secara lebih luas. Meski kecaman terhadap kolonialisasi termaktub dalam konstitusi yang menjadi dasar kritik keras pemerintah Indonesia terhadap Israel, interaksi dengan komunitas Yahudi tetap diperlukan.

Terlebih lagi, komunitas-komunitas Yahudi toh sejatinya ada di negeri ini. Interaksi tanpa prasangka menjadi penting untuk saling belajar dalam konteks kultur dan pengetahuan antar-komunitas warga negeri ini.

Membangun interaksi tentu saja harus dengan cara pandang untuk mengenal satu sama lain, tanpa ada rasa curiga, tanpa mengenal prasangka.

Kebencian seringkali muncul hanya karena perbedaan cara memahami sesuatu. Untuk melawan kebencian atau prasangka mutlak harus ada upaya untuk saling mengenal, memberi ruang bagi komunitas-komunitas marginal muncul di ranah publik untuk memulai interaksi.

Jangan sampai kebencian hanya menjadi isu politik dan komoditas untuk membangun kekuasaan. Lagi pula, bagaimana pula ceritanya kita bisa membenci tanpa pernah saling mengenal satu sama sekali?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Angota Paspampres Jokowi

Eks Bawahan SYL Mengaku Beri Tip untuk Angota Paspampres Jokowi

Nasional
Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Jokowi Harap Presiden Baru Tuntaskan Pengiriman Alkes ke RS Sasaran

Nasional
Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Nasional
Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Nasional
Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Nasional
Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Nasional
Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Nasional
Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

Nasional
Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com