PM Mahathir secara terus-menerus menggaungkan isu ini untuk mengonsolidasi barisan pemilihnya agar memiliki imajinasi yang sama.
Pada Agustus 1984, misalnya, agenda konser New York Philharmonic Orchestra dibatalkan sepihak. Apa yang salah? Ernst Bloch, komposer dari orkestra itu dianggap sebagai orang Yahudi dan beberapa komposisi yang akan ditampilkan berasal dari melodi Hebrew.
Lalu, pada 1986, Mahathir juga menolak izin terbit The Asia Wall Street Journal selama tiga bulan. Alasannya, media ini dianggap dikendalikan oleh orang Yahudi.
Mahathir mengembuskan ketakutan sekaligus kebencian pada simbol-simbol Yahudi serta zionis di ruang publik, yang mempengaruhi persepsi warga Malaysia. Pada 1997, Mahathir berpidato, “We are Moslems, and the Jews are not happy to see Moslems progress.”
Masalahnya, di Malaysia anti-semitisme berkembang dengan ketiadaan interaksi sama sekali dengan komunitas Yahudi. Anti-semitisme yang diembuskan penguasa untuk membangun imajinasi "Yahudi membenci kemajuan Islam" merupakan kampanye politik.
Padahal, warga Malaysia bahkan tidak pernah—untuk tidak menyebut jarang sekali—berinteraksi dengan komunitas Yahudi di negeri itu. Ruang publik yang memfasilitasi interaksi ini nyaris tidak ada.
Moshe Yegar, seorang diplomat Israel, menyebut kondisi ini sebagai "Anti-Semitism without Jews".
Salah kaprah narasi anti-semitisme
Semitisme sebenarnya penyebutan yang ditujukan kepada sejumlah ras manusia, termasuk Yahudi, Arab, Suryaniah, Babilonia, Kan’an, Malteses, dan beberapa ras lain, yang sebagian besar bermukim di Timur Tengah.
(Baca juga: Membangun Narasi Keberagaman)
Namun, istilah anti-semitisme kemudian mengalami pergeseran, lebih ditujukan sebagai kebencian terhadap kelompok Yahudi, terutama sejak akhir abad XIX.
Jurnalis Jerman, Wilhelm Marr, pada 1879 mempublikasikan pamflet "Der Weg zum Siege des Germanenthums uber das Judentum"—terjemahan bebasnya kurang lebih, "Cara kemenangan Jerman atas Yahudi"—yang seolah mem-framing bahwa anti-semitisme dikhususkan hanya kepada komunitas Yahudi.
Di Indonesia, anti-semitisme juga mengakar dalam kultur dan cara pandang warga negeri ini. Riset Martin van Bruinessen berjudul "Yahudi sebagai Simbol dalam Wacana Pemikiran Islam Indonesia Masa Kini" melacak ketertarikan warga Indonesia terhadap isu anti-semitisme.
Menurut van Bruinessen, anti-semitisme di Indonesia mulai merebak pada 1980-an, terutama setelah terbitnya buku-buku tentang gerakan Freemason sebagai organisasi klandestin orang Yahudi.
Pada kurun itu mulai beredar juga buku yang mengungkap isu anti-semit terbitan Liga Muslim Dunia atau Rabithah al-‘Alam al-Islami.
James Siegel, Indonesianis yang meriset isu-isu anti-semitisme dan politik minoritas, mengungkap, “Sejak lama telah ada anti-semitisme di Indonesia dan meningkat secara drastis pada masa pemerintahan Soeharto.”