JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting Manik mengatakan sebuah daerah yang tidak lagi menggunakan sistem noken tak bisa lagi mengubah sistem pemilihannya.
Bagi daerah yang sudah meninggalkan noken, maka sistem pemilihan akan berlaku sama seperti daerah lainnya.
“Ya nggak kalau dia sudah tidak pakai, ya nggak boleh pakai lagi,” katanya di Kantor KPU RI, Jakarta, Jumat (20/4/2018).
Menurut ia, selama ini yang diatur oleh KPU adalah daerah yang tidak menerapkan sistem noken.
Saat ditanya mengenai kemungkinan akan dibuat peraturan khusus bagi daerah yang menggunakan sistem noken saat pemilu 2019, kata ia, akan mempelajari lagi kondisi- kondisi tersebut setelah pilkada 2018.
Baca juga : Sistem Noken Rentan Dicurangi, KPU Cari Formulasi Administrasi Kepemiluan yang Tepat
“Seperti apa nanti kami akan analisis dan kaji setelah pelaksanaan pilkada 2018 nanti,” jelasnya.
Sebagai informasi, dari delapan pilkada di Papua, hanya dua pilkada saja yang tidak menggunakan sistem noken yakni Pilkada Provinsi Papua dan Pilkada Kabupaten Biak Numfor.
Enam pilkada masih akan menggunakan sistem noken yakni Deiyai, Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Mimika, Paniai, serta Puncak.
Kondisi masyarakat Papua sendiri ada yang mengakui bahwa sistem noken, yang mengalami proses legalisasi lewat putusan MK nomor 47-81/PHPU.A-VI/2009 sebagai budaya asli Papua, rentan penyalahgunaan.
Baca juga : Komnas HAM: Jika Sistem Noken Disalahgunakan, Hak Memilih Bakal Tidak Tersalurkan
Sistem noken ini sangat rawan kecurangan dan seringkali berujung pada Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Ada dua mekanisme penggunaan sistem noken. Pertama, penggunaan noken untuk menggantikan kotak suara.
Surat suara diletakan di dalam tas noken yang biasanya dipegang oleh para saksi dari pasangan calon.
Kedua, sistem noken di mana kepala suku memilih untuk dan atas nama pemilih di kelompok sukunya. Kedua mekanisme ini sama-sama tidak bersifat rahasia.