Ini yang kemudian dalam Konvensi Konstitusi di Philadelphia diadopsi sebagai Presiden, Senat, dan DPR. Hanya pada institusi yang terakhir ini ada pemilihan langsung oleh rakyat.
Adanya penggabungan ketiganya dalam republik tersebut bertujuan menciptakan sistem check and balance, sebagaimana halnya pada trias politica. Spirit ini yang seharusnya diutamakan dalam menimbang bentuk pilkada.
Soal check and balance
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mohammad Mahfud MD dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mendiskusikan bagaimana seandainya pilkada kembali ke DPRD. Mahfud menjelaskan secara konstitusional tidak ada persoalan, tetapi situasinya menurut dia tidak memungkinkan pada saat itu.
Pada masa itu DPR terbelah ke dalam dua koalisi besar, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Jika menetapkan pilkada di tangan DPRD sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota maka KMP bisa menguasai seluruhnya, baik legislatif maupun eksekutif.
Adanya desakan rakyat pasca-pengesahan UU Nomor 24 Tahun 2014, ditambah dengan pertimbangan di atas, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 untuk mencabut UU Nomor 24 Tahun 2014 dan mengembalikan pemilihan langsung oleh rakyat.
Presiden SBY dengan cepat dan tepat melakukan apa yang memang semestinya dilakukan oleh seorang demokrat.
Meski Mahfud MD tampaknya sekarang cenderung pada pilkada tidak langsung, pertimbangan yang pernah disampaikan itu menunjukkan adanya kekhawatiran jika kekuasaan menumpuk di "tangan" yang sama. Situasi itu dapat melahirkan ketidakseimbangan.
Mestinya ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang situasional saja, sebab tidak ada jaminan bahwa hal sama tidak akan kembali terulang. Rencana terbaik idealnya berangkat dari asumsi terburuk.
Korupsi yang lebih besar
Perhatian KPK dan beberapa pihak akan adanya korupsi pada proses pilkada adalah hal yang wajar. Adagium populer, “power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutly” ala Lord Acton menjelaskan kedekatan korupsi dan kekuasaan.
Namun, adagium ini hendaknya dilihat bukan hanya dalam konteks proses pemerolehan kekuasaan, melainkan justru pada saat berkuasa kelak, yaitu seberapa besar kekuasaan didominasi.
Tanpa koalisi sebesar KMP dan KIH pun sebenarnya dalam pemilihan tidak langsung kekuasaan tetap lebih terpusat dibandingkan pemilihan langsung. Pembahasan undang-undang yang melibatkan legislatif dan eksekutif hanya akan menguntungkan partai mayoritas.
Partai minoritas akan semakin sulit menolak kehendak mayoritas. Di samping partai minoritas kalah jumlah di legislatif, partai mayoritas juga didukung oleh eksekutif yang pada dasarnya adalah bagian dari mereka.
Kekuasaan legislatif dan eksekutif yang seharusnya terpisah dalam rangka check and balance justru menyatu.
Di kondisi semacam ini, alih-alih sebagai penyeimbang legislatif, eksekutif daerah akan lebih menyerupai trofi bagi mereka yang berhasil menguasai kursi di parlemen. Mereka akan menjadi perlambang kemenangan saat itu dan untuk lima tahun ke depan. Ini berpotensi melahirkan korupsi yang jauh lebih besar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.