Banyak upaya perbaikan yang dilakukan. Di antara upaya tersebut adalah menimbang kembali apakah pilkada sebaiknya tetap bersifat langsung oleh rakyat seperti sekarang atau dikembalikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Opsi kedua itu diwacanakan oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo. Menurut dia, seperti muncul di pemberitaan pada Selasa (10/4/2018), pilihan tersebut diusulkan juga oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bagaimana menelaah dan menyikapi perkembangan wacana ini?
Sudut pandang konstitusi
Secara konstitusional tidak ada persoalan mengembalikan pilkada kepada DPRD. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) tidak ada ketentuan yang mengharuskan pilkada langsung oleh rakyat seperti pada pada pemilihan presiden (pilpres).
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 memang menyebutkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Adapun untuk kepala daerah, Pasal 18 ayat (4) hanya menyebutkan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Artinya, tidak ada larangan konstitusional bagi pilkada dilakukan melalui DPRD. Terlebih lagi, pemilihan melalui perwakilan juga merupakan salah satu bentuk demokrasi.
Sila ke-4 Pancasila mencantumkan pula frasa permusyawaratan perwakilan. Bahkan, mekanisme pemilihan lewat perwakilan sudah memiliki sejarah panjang khususnya di negara-negara republik.
Perspektif demokrat dan republik
Dalam ideologi politik, ada perbedaan soal keterlibatan rakyat antara sistem demokratis dan republikan. Namun, selama mengartikan demokrasi—seperti Abraham Lincoln—sebagai pemerintahan “of the people, by the people, for the people” maka kedua sistem masih bagian dari demokrasi.
Perbedaan di antara kedua sistem itu, bentuk demokratis mengandaikan semuanya melalui pemilihan langsung sedangkan republik tidak selalu begitu.
Konstitusi Amerika tahun 1787, misalnya, semangat pembentukannya bukan dalam kerangka demokratis tapi republikan. Dalam upaya melepaskan diri dari Inggris, Amerika ketika itu merujuk ke John Locke yang berhaluan republik.
Locke berupaya membangun pemerintahan yang konstitusional tapi tanpa sepenuhnya mengubah tatanan masyarakat yang ada. Ia menawarkan demokrasi yang bukan dalam arti semua dipilih langsung oleh rakyat, melainkan ada keterwakilan rakyat dari tiap kalangan—kerajaan, bangsawan, dan rakyat biasa.
Republik di sini serupa dengan Konstitusi Romawi kuno yang merupakan campuran antara pemerintahan monarki (satu orang), aristokrasi (beberapa orang), dan demokrasi (banyak orang).
Ini yang kemudian dalam Konvensi Konstitusi di Philadelphia diadopsi sebagai Presiden, Senat, dan DPR. Hanya pada institusi yang terakhir ini ada pemilihan langsung oleh rakyat.
Adanya penggabungan ketiganya dalam republik tersebut bertujuan menciptakan sistem check and balance, sebagaimana halnya pada trias politica. Spirit ini yang seharusnya diutamakan dalam menimbang bentuk pilkada.
Soal check and balance
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mohammad Mahfud MD dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mendiskusikan bagaimana seandainya pilkada kembali ke DPRD. Mahfud menjelaskan secara konstitusional tidak ada persoalan, tetapi situasinya menurut dia tidak memungkinkan pada saat itu.
Pada masa itu DPR terbelah ke dalam dua koalisi besar, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Jika menetapkan pilkada di tangan DPRD sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota maka KMP bisa menguasai seluruhnya, baik legislatif maupun eksekutif.
Adanya desakan rakyat pasca-pengesahan UU Nomor 24 Tahun 2014, ditambah dengan pertimbangan di atas, Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 untuk mencabut UU Nomor 24 Tahun 2014 dan mengembalikan pemilihan langsung oleh rakyat.
Presiden SBY dengan cepat dan tepat melakukan apa yang memang semestinya dilakukan oleh seorang demokrat.
Meski Mahfud MD tampaknya sekarang cenderung pada pilkada tidak langsung, pertimbangan yang pernah disampaikan itu menunjukkan adanya kekhawatiran jika kekuasaan menumpuk di "tangan" yang sama. Situasi itu dapat melahirkan ketidakseimbangan.
Mestinya ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang situasional saja, sebab tidak ada jaminan bahwa hal sama tidak akan kembali terulang. Rencana terbaik idealnya berangkat dari asumsi terburuk.
Korupsi yang lebih besar
Perhatian KPK dan beberapa pihak akan adanya korupsi pada proses pilkada adalah hal yang wajar. Adagium populer, “power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutly” ala Lord Acton menjelaskan kedekatan korupsi dan kekuasaan.
Namun, adagium ini hendaknya dilihat bukan hanya dalam konteks proses pemerolehan kekuasaan, melainkan justru pada saat berkuasa kelak, yaitu seberapa besar kekuasaan didominasi.
Tanpa koalisi sebesar KMP dan KIH pun sebenarnya dalam pemilihan tidak langsung kekuasaan tetap lebih terpusat dibandingkan pemilihan langsung. Pembahasan undang-undang yang melibatkan legislatif dan eksekutif hanya akan menguntungkan partai mayoritas.
Partai minoritas akan semakin sulit menolak kehendak mayoritas. Di samping partai minoritas kalah jumlah di legislatif, partai mayoritas juga didukung oleh eksekutif yang pada dasarnya adalah bagian dari mereka.
Kekuasaan legislatif dan eksekutif yang seharusnya terpisah dalam rangka check and balance justru menyatu.
Di kondisi semacam ini, alih-alih sebagai penyeimbang legislatif, eksekutif daerah akan lebih menyerupai trofi bagi mereka yang berhasil menguasai kursi di parlemen. Mereka akan menjadi perlambang kemenangan saat itu dan untuk lima tahun ke depan. Ini berpotensi melahirkan korupsi yang jauh lebih besar.
https://nasional.kompas.com/read/2018/04/13/22331441/eksekutif-trofi-legislatif