JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengkritik adanya bias dalam proses hukum yang melibatkan unsur keagamaan. Hal itu yang terkadang menimbulkan adanya gesekan yang berujung pada tindak kekerasan atas nama agama.
Ia berkaca pada proses hukum yang tidak seimbang dalam kasus kelompok Gafatar yang telah bubar pada 2015 silam. Menurutnya, meskipun Gafatar sempat didirikan oleh tokoh dari Negara Islam Indonesia dan Al Qiyadah Islamiyah, Gafatar telah melakukan transformasi pemikiran dan tindakannya menjadi pro Pancasila dan menjalankan nilai-nilai keagamaan secara universal.
Namun demikian, pemerintah tetap menganggap organisasi tersebut meresahkan dan menyesatkan. Masyarakat pun, kata dia, turut melihat Gafatar adalah organisasi yang berbahaya.
Baca juga : Putusan Hakim, Tiga Mantan Petinggi Gafatar Tak Terbukti Makar
Padahal, di sisi lain, Gafatar berhasil melakukan sejumlah program sosial yang menaikkan kualitas hidup pengikutnya, seperti mengelola lahan gambut untuk kepentingan pertanian hingga membersihkan sampah di sungai.
"Celakanya negara tidak imbang, dan tidak bisa mengajarkan nilai toleransi dan Bhinneka Tunggal Ika," kata dia.
Menurut dia, ada banyak program sosial yang berhasil dilakukan oleh eks Gafatar bisa dimanfaatkan oleh negara untuk kepentingan masyarakat luas.
"Bayangkan kalau kemampuan eks Gafatar yang bisa mengelola lahan gambut dengan baik, dimanfaatkan negara. Berapa besar kemampuan bangsa ini untuk maju," kata dia.
Baca juga : Tiga Mantan Petinggi Gafatar Divonis Penjara Terkait Penodaan Agama
Sehingga ia menilai, pemerintah dan masyarakat tak perlu mengutamakan aksi kekerasan dan saling mengintai perbedaan keyakinan setiap orang.
Sementara itu, peneliti Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) Robi Sugara menilai, pemerintah kerapkali tunduk pada tekanan mayoritas dalam melakukan proses terhadap individu atau kelompok keyakinan minoritas. Ia sepakat bahwa tak berimbangnya penegakan hukum berimbas pada maraknya aksi persekusi.
"Saya juga mendorong adanya sikap tegas soal tindak kekerasan berbasis atas nama agama, apapun itu. Jadi saya kira tidak ada kekerasan atas nama agama, karena itu dosa besar," ungkapnya.
Sebab, kata Robi, perbedaan proses hukum yang melibatkan unsur keagamaan akan semakin menimbulkan prasangka buruk antar umat beragama. Oleh karena itu ia berharap pemerintah harus bersikap tegas dan seimbang berdasarkan konstitusi dan hak asasi manusia.