SERANG, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menegaskan ia tidak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan sejumlah pasal kontroversial dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3.
"Kenapa tidak dikeluarkan perppu? Ya sama saja. Perppu kalau sudah jadi harus disetujui oleh DPR. Begitu, lho. Masa pada enggak mengerti," kata Jokowi kepada wartawan di Serang, Banten, Rabu (14/3/2018).
Jokowi mengaku menangkap keresahan masyarakat atas sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3. Oleh karena itu, Jokowi menunjukkan sikap untuk tidak menandatangani lembar pengesahan UU MD3 meski hal tersebut tidak berdampak apa pun.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, undang-undang akan otomatis berlaku 30 hari setelah disahkan di rapat paripurna meski tidak ditandatangani oleh Presiden.
"Kenapa saya tidak tandatangani, saya menangkap keresahan yang ada di masyarakat," kata Jokowi.
(Baca juga: Jokowi: Saya Pastikan Tidak Menandatangani UU MD3)
Sebagai solusinya, Jokowi mempersilakan masyarakat untuk melakukan uji materi pasal-pasal kontroversial di UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi.
Harapannya, MK bisa mengabulkan uji materi tersebut dan membatalkan pasal yang dianggap kontroversial dan merugikan masyarakat.
"Uji materi dululah. Kan yang mengajukan uji materi kan banyak. Diuji materi. Saya kira mekanismenya seperti itu," kata Jokowi.
UU MD3 disahkan bersama antara DPR dan pemerintah dalam rapat paripurna DPR pada 12 Februari lalu.
Pasal-pasal dalam UU MD3 yang menuai polemik lantaran dinilai mengancam kebebasan berpendapat dan demokrasi, yakni Pasal 73 yang mengatur tentang menghadirkan seseorang dalam rapat di DPR atas bantuan aparat kepolisian.
Ada juga Pasal 245 yang mengatur angota DPR tidak bisa dipanggil aparat hukum jika belum mendapat izin dari MKD dan izin tertulis dari Presiden.
Terakhir, yakni Pasal 122 huruf k yang mengatur kewenangan MKD menyeret siapa saja ke ranah hukum jika melakukan perbuatan yang patut diduga merendahkan martabat DPR dan anggota DPR.