Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Diingatkan Agar Tak Buru-buru Minta RKUHP Segera Disahkan

Kompas.com - 14/03/2018, 06:41 WIB
Moh Nadlir,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meminta pembahasan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dipercepat agar bisa segera disahkan bersama DPR RI tahun 2018 ini.

Menanggapi itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Yenti Garnasih mengingatkan agar pemerintah dengan DPR tak asal membahas RKHUP tersebut sehingga bisa segera disahkan.

"Kalau RKUHP mau dipaksakan tahun ini disahkan, masih banyak masalah substansial loh," kata Yenti melalui pesan singkatnya, Selasa (13/3/2018).

(Baca juga: Presiden Jokowi Ingin Pembahasan RKUHP Dipercepat)

Yenti berharap, Jokowi membuka kesempatan bagi pihak lain, khususnya akademisi hukum pidana untuk menyampaikan pandangannya terkait RKUHP sebelum disahkan.

Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Trisakti, Yenti Garnasih dalam diskusi di Jakarta, Minggu (14/8/2016).Ambaranie Nadia K.M Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang Universitas Trisakti, Yenti Garnasih dalam diskusi di Jakarta, Minggu (14/8/2016).

"Semoga Presiden memberikan kesempatan pada pihak lain untuk menyampaikan pandangannya. Ini demi pembaruan hukum pidana Indonesia yang bisa mendekati sempurna," kata Yenti.

Sebelumnya, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional sekaligus tim perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Enny Nurbaningsih mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo ingin pembahasan RKUHP dipercepat.

Hal itu disampaikan Presiden Jokowi saat bertemu tim perumus di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin, Rabu (7/3/2018).

"Presiden ingin agar proses pembahasan RKUHP dipercepat," ujar Enny saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/3/2018).

Menurut Enny, tim perumus dari pemerintah telah memperbaiki sejumlah pasal yang selama ini menimbulkan polemik.

Sejumlah pasal yang diubah, salah satunya pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden.

Ia membantah anggapan bahwa pemerintah berupaya menghidupkan kembali pasal tersebut setelah sebelumnya dibatalkan oleh Mahkmah Konstitusi (MK).

(Baca juga: Setara Institute: Tak Ada Alasan Pemerintah-DPR Percepat Pengesahan RKUHP)

Enny menegaskan bahwa pasal tersebut berbeda dengan pasal dalam KUHP yang dibatalkan oleh MK.

Dalam draf RKUHP diatur secara jelas mengenai perbedaan antara menghina dan mengkritik.

Selain itu, tim juga sudah mengubah soal ancaman pidana yang dinilai terlalu tinggi.

"Kalau percepatan itu bukan karena ada apa-apa. Karena memang ini sudah lama tuntutan terkait perubahan KUHP ini. Jadi bukan karena ada kepentingan lain," tuturnya.

Di sisi lain, lanjut Enny, sistem di pemerintah dan DPR tidak mengenal istilah carry-over.

Artinya, ketika pembahasan RKUHP tidak selesai sebelum Pilpres 2019, maka proses pembahasan harus diulang dari awal pada pemerintahan berikutnya.

"Jadi kalau misalnya tidak selesi, akan kembali lagi ke titik nol. Terus kita begitu terus? Kapan kita bisa memiliki KUHP milik bangsa sendiri," kata Enny.

Kompas TV Presiden Joko Widodo mengundang pakar hukum ke Istana Presiden pada Rabu (28/2) kemarin untuk melakukan diskusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Kloter Pertama Jemaah Haji Indonesia Dijadwalkan Berangkat 12 Mei 2024

Nasional
Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Saat Jokowi Sebut Tak Masalah Minta Saran Terkait Kabinet Prabowo-Gibran...

Nasional
'Presidential Club' Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

"Presidential Club" Ide Prabowo: Dianggap Cemerlang, tapi Diprediksi Sulit Satukan Jokowi-Megawati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com