JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meminta pembahasan rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dipercepat agar bisa segera disahkan bersama DPR RI tahun 2018 ini.
Menanggapi itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Yenti Garnasih mengingatkan agar pemerintah dengan DPR tak asal membahas RKHUP tersebut sehingga bisa segera disahkan.
"Kalau RKUHP mau dipaksakan tahun ini disahkan, masih banyak masalah substansial loh," kata Yenti melalui pesan singkatnya, Selasa (13/3/2018).
(Baca juga: Presiden Jokowi Ingin Pembahasan RKUHP Dipercepat)
Yenti berharap, Jokowi membuka kesempatan bagi pihak lain, khususnya akademisi hukum pidana untuk menyampaikan pandangannya terkait RKUHP sebelum disahkan.
"Semoga Presiden memberikan kesempatan pada pihak lain untuk menyampaikan pandangannya. Ini demi pembaruan hukum pidana Indonesia yang bisa mendekati sempurna," kata Yenti.
Sebelumnya, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional sekaligus tim perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Enny Nurbaningsih mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo ingin pembahasan RKUHP dipercepat.
Hal itu disampaikan Presiden Jokowi saat bertemu tim perumus di Istana Merdeka, Jakarta, kemarin, Rabu (7/3/2018).
"Presiden ingin agar proses pembahasan RKUHP dipercepat," ujar Enny saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/3/2018).
Menurut Enny, tim perumus dari pemerintah telah memperbaiki sejumlah pasal yang selama ini menimbulkan polemik.
Sejumlah pasal yang diubah, salah satunya pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden.
Ia membantah anggapan bahwa pemerintah berupaya menghidupkan kembali pasal tersebut setelah sebelumnya dibatalkan oleh Mahkmah Konstitusi (MK).
(Baca juga: Setara Institute: Tak Ada Alasan Pemerintah-DPR Percepat Pengesahan RKUHP)
Enny menegaskan bahwa pasal tersebut berbeda dengan pasal dalam KUHP yang dibatalkan oleh MK.
Dalam draf RKUHP diatur secara jelas mengenai perbedaan antara menghina dan mengkritik.
Selain itu, tim juga sudah mengubah soal ancaman pidana yang dinilai terlalu tinggi.
"Kalau percepatan itu bukan karena ada apa-apa. Karena memang ini sudah lama tuntutan terkait perubahan KUHP ini. Jadi bukan karena ada kepentingan lain," tuturnya.
Di sisi lain, lanjut Enny, sistem di pemerintah dan DPR tidak mengenal istilah carry-over.
Artinya, ketika pembahasan RKUHP tidak selesai sebelum Pilpres 2019, maka proses pembahasan harus diulang dari awal pada pemerintahan berikutnya.
"Jadi kalau misalnya tidak selesi, akan kembali lagi ke titik nol. Terus kita begitu terus? Kapan kita bisa memiliki KUHP milik bangsa sendiri," kata Enny.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.