Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setara Institute: Tak Ada Alasan Pemerintah-DPR Percepat Pengesahan RKUHP

Kompas.com - 12/03/2018, 23:02 WIB
Kristian Erdianto,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi meminta pemerintah dan DPR tidak terburu-buru dalam mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Menurut Hendardi, tidak ada alasan memaksa untuk mempercepat pengesahan RKUHP, mengingat saat ini sejumlah pasal dalam draf tersebut masih menimbulkan polemik di kalangan masyarakat sipil.

"Ikhtiar mempercepat pembahasan RUU KUHP yang muncul dari pertemuan Presiden-Tim Perumus RUU tidak boleh menegasikan aspirasi publik yang menganggap bahwa RUU tersebut masih banyak mengandung persoalan," ujar Hendardi melalui keterangan tertulis, Senin (12/3/2018).

Baca juga : Belum ada Terjemahan Resmi KUHP, DPR Diminta Hentikan Bahas Revisi

Di sisi lain, kata Hendardi, para pembentuk UU dinilainya cenderung memilih waktu pembahasan yang sarat dengan event politik.

Hal ini membuat perdebatan publik terkait RUU terjebak pada politisasi dibandingkan mengajukan argumen akademik.

Ia mencontohkan, beberapa pasal yang tidak menunjukkan inkonsistensi pemerintah dan DPR dalam menangkap aspirasi publik serta tak mematuhi amanat Mahkamah Konstitusi, yakni pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dan penodaan agama.

Selain itu, Hendardi juga menilai, pembahasan RKUHP cenderung tidak partisipatif.

"Ketergesa-gesaan rencana pengesahan di tengah masih banyaknya kontroversi dalam sejumlah isu, hanya memperkuat dugaan bahwa terdapat aneka kepentingan yang diselundupkan," kata dia.

Baca juga : Kronik KUHP: Seabad di Bawah Bayang Hukum Kolonial

Berdasarkan catatan Setara ada beberapa pasal dalam RKUHP yang masih menjadi polemik hingga saat ini.

Pertama, soal pasal-pasal kesusilaan sebagai perluasan pasal permukahan (overspel/perzinahan).

Hendardi menilai, negara terlalu jauh dengan mengatur wilayah privat warga negara. Menurut dia, pasal-pasal kesusilaan dalam rancangan revisi KUHP tersebut memperkuat tren puritanisasi dalam politik dan hukum negara.

Kedua, pasal penodaan agama yang diperluas dari satu pasal, pasal 156 huruf a menjadi delapan pasal.

Baca juga : ICJR Nilai Rancangan KUHP Memuat Aturan Legalisasi Judi

Ketiga, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Dua pasal karet mengenai isu tersebut, yaitu Pasal 263 dan 264 RKUHP dinilai mengancam demokrasi karena berpotensi menyumbat saluran "social/people control" sebagai salah satu mekanisme kontrol kekuasaan dalam demokrasi, di samping mekanisme checks and balances.

Pembahasan RKUHP antara DPR dan pemerintah ditargetkan akan selesai pada April 2018 mendatang.

Kompas TV Presiden Joko Widodo mengundang pakar hukum ke Istana Presiden pada Rabu (28/2) kemarin untuk melakukan diskusi.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Sudirman Said Angkat Bicara soal Isu Mau Maju Cagub Independen di Pilgub Jakarta

Sudirman Said Angkat Bicara soal Isu Mau Maju Cagub Independen di Pilgub Jakarta

Nasional
Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Soal Revisi UU Kementerian Negara, Yusril Sebut Prabowo Bisa Keluarkan Perppu Usai Dilantik Jadi Presiden

Nasional
“Oposisi” Masyarakat Sipil

“Oposisi” Masyarakat Sipil

Nasional
Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Soal Pernyataan Prabowo, Pengamat: Ada Potensi 1-2 Partai Setia pada Jalur Oposisi

Nasional
Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Pakar Nilai Ide KPU soal Caleg Terpilih Dilantik Usai Kalah Pilkada Inkonstitusional

Nasional
Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Pakar Pertanyakan KPU, Mengapa Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Ogah Kerja Sama, Gerindra: Upaya Rangkul Partai Lain Terus Dilakukan

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, Gerindra Pastikan Tetap Terbuka untuk Kritik

Nasional
Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Kabinet Prabowo: Antara Pemerintahan Kuat dan Efektif

Nasional
Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Gerindra Jelaskan Maksud Prabowo Sebut Jangan Ganggu jika Tak Mau Kerja Sama

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

[POPULER NASIONAL] Prabowo Minta yang Tak Mau Kerja Sama Jangan Ganggu | Yusril Sebut Ide Tambah Kementerian Bukan Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 13 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Kesiapan Infrastruktur Haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina Sudah 75 Persen

Nasional
Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Cek Pelabuhan Ketapang, Kabaharkam Pastikan Kesiapan Pengamanan World Water Forum 2024

Nasional
Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Prabowo Sebut Soekarno Milik Bangsa Indonesia, Ini Respons PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com