JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Center for Budget Analysis Ucok Sky Khadafi menilai, kesepakatan antara Polri, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan, dan Aparat Pengawas Internal Pemerintahan tidak layak dijalankan.
Ia menganggap kesepakatan itu hanya akan menyuburkan korupsi di Indonesia lantaran seseorang yang telah mengembalikan uang hasil korupsi dinyatakan bebas dari tindak pidana. Selain itu, lanjut Ucok, meskipun seseorang mengembalikan uang yang dikorupsinya, tindak pidananya tidak serta merta hilang.
"Sebetulnya, MoU silakan, tapi jangan kalau polisi itu menemukan yang namanya data korupsi dan sudah ditangkap, dijadikan tersangka, dan dia mengembalikan duit, secara otomatis tindak pidananya tidak hilang," kata Ucok saat ditemui di Cikini, Jakarta, Minggu (4/3/2018).
Ia menambahkan, semestinya polisi dalam bekerja lebih mengedepankan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukan kesepakatan yang baru saja ditandatangani itu.
Sebab, kata dia, MoU itu merupakan kesepakatan politik yang kedudukannya di bawah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi selaku produk hukum tetap.
(Baca juga: KPK Yakin MoU Kemendagri Tak Atur Soal Hilangnya Pidana Asal Kembalikan Uang Korupsi)
Menurut Ucok, adanya kesepakatan itu menunjukkan pemberantasan korupsi seolah disetir oleh kesepakatan politik.
"Berapa pun nilainya, kalau memang terbukti ya sudah, langsung masuk ke ranah hukum. Jangan menunggu dikembalikan (uangnya). Kalau kayak begitu, nanti semua ditangkap polisi, nanti dikembalikan (uangnya)," kata dia.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri bersama dengan Kejaksaan Agung, Polri, dan aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) menandatangani kesepakatan bersama dalam penanganan aduan korupsi di daerah.
Kabareskrim Polri Komjen Ari Dono Sukmanto mengungkapkan, dalam kesepakatan tersebut, oknum pejabat pemerintahan daerah yang terindikasi melakukan korupsi bisa dihentikan perkaranya jika mengembalikan uang yang dikorupsinya.
"Kalau masih penyelidikan kemudian si tersangka mengembalikan uangnya, kami lihat mungkin persoalan ini tidak kami lanjutkan ke penyidikan," kata Ari di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (28/2/2018).
Meski demikian, penghentian perkara dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah disepakati. Polri atau Kejaksaan Agung terlebih dahulu berkoordinasi dengan APIP untuk melakukan penelitian di internal pemerintahan daerah yang terindikasi korupsi.
Jika APIP hanya menemukan indikasi pelanggaran administrasi, hal itu akan ditangani di internal kelembagaan. Sebaliknya, apabila ditemukan unsur tindak pidana, aparat hukum menindaklanjutinya.
"Kalau memang itu pelanggaran administrasi, akan ditindaklanjuti oleh APIP. Kalau memang tindak pidana, APIP akan menyerahkan ke APH, apakah itu nanti Kejaksaan atau Kepolisian," ujar Ari.
Namun, kata dia, oknum pejabat daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi dan berniat mengembalikan uang negara yang dikorupsi, Polri atau Kejagung bisa mempertimbangkan penghentian perkara yang bersangkutan.
Kabareskrim menambahkan, anggaran penanganan perkara korupsi di kepolisian kerap kali lebih tinggi dibandingkan kerugian negara dari korupsi dengan jumlah yang kecil.
Anggaran penanganan korupsi per perkara di kepolisian Rp 208 juta.
"Nah kalau yang dikorupsi Rp 100 juta negara, kan, tekor, nanti belum penuntutan berapa lagi, sampai dengan masa pemidanaan," ujar Ari.