JAKARTA, KOMPAS.com - Maraknya penangkapan kepala daerah terkait perkara korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat kinerja inspektorat kembali menjadi sorotan.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai bahwa inspektorat pemerintah daerah mandul.
"Inspektorat tentunya sudah mandul, tidak punya kekuatan apa-apa untuk mengawasi kepala daerah," kata Endi dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/2/2018).
Kemandulan inspektorat pemerintah daerah ini disebabkan salah satunya oleh struktur kelembagaan yang berada di bawah kepala daerah. Inspektorat tidak independen karena diangkat dan dicopot oleh kepala daerah.
"Ketika inspektorat tidak ada independensi, ya mana bisa mengawasi. Orang tentunya tidak bisa mengawasi seseorang yang posisinya lebih tinggi dari dia," ujar Endi.
Parahnya lagi Endi seringkali menemukan fakta bahwa inspektorat menjadi "kotak" bagi aparatur sipil negara yang hendak pensiun.
(Baca juga: Gencarnya Upaya Pencegahan KPK dan Kepala Daerah yang Tak Pernah Jera)
Seharusnya, menurut dia, inspektorat direstrukturisasi menjadi lebih independen. Dengan demikian, inspektorat menjadi mekanisme filter pertama jika ada dugaan pelanggaran prosedur atau bahkan tindak pidana korupsi.
"Inspektorat harus vertikal dengan kepala daerah, diperkuat kapasitas dan sumber daya manusianya. Bukan cuma merekomendasikan, bahkan bisa meluruskan prosedur yang salah dan bisa memberikan sanksi awal," ujar Endi.
Sebelumnya, belum genap dua bulan pada 2018, sebanyak tujuh kepala daerah telah ditetapkan menjadi tersangka perkara dugaan korupsi oleh KPK.
Ketujuh kepala daerah tersebut adalah Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad, Bupati Jombang Nyono Suharli, Bupati Ngada Marianus Sae, Bupati Halmahera Timur Rudi Erawan, Gubernur Jami Zumi Zola dan Bupati Subang Imas Aryumningsih.