Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Revisi UU MD3 Ditujukan untuk Mempertebal Proteksi Anggota DPR"

Kompas.com - 15/02/2018, 17:07 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita ,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi menilai, seharusnya pembahasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) juga melibatkan masyarakat.

Sebab, UU tersebut mengatur kedudukan lembaga-lembaga perwakilan dalam menjalankan fungsinya sebagai badan representasi warga negara Indonesia.

Alih-alih mewujudkan cita-cita nasional dan melindungi warga negara, revisi UU MD3 dianggap hanya untuk melindungi kepentingan anggota Dewan dan sebagai tameng agar mereka tidak diusik.

"Proses legislasi yang ekslusif tanpa partisipasi warga ini telah membuktikan bahwa revisi UU MD3 hanya ditujukan untuk mempertebal proteksi dan memenuhi kepentingan diri anggota DPR," ujar Hendardi melalui siaran pers, Kamis (15/2/2018).

Baca juga: Dalam 24 Jam, Petisi Tolak Revisi UU MD3 Tembus 117.000 Dukungan

Hendardi menilai, rumusan revisi UU MD3 mengandung banyak pasal kontroversial yang tidak disusun atas dasar argumentasi akademik yang memadai.

Dengan demikian, aturan yang sudah disahkan itu menyalahi prinsip rule of law, merusak makna sistem check and balances, dan bertentangan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi.

Melalui undang-undang tersebut, kata Hendardi, DPR menambah kekuasaannya sebagai badan legislatif dengan kekuasaan penegakan hukum.

Bahkan, melampaui kewenangan penegak hukum.

Kekuasaan baru DPR sebagaimana tercantum dalam UU tersebut yakni tidak boleh dikritik baik pribadi maupun status keanggotaannya sebagai anggota dewan, mengikis kewenangan penegak hukum untuk memproses anggota DPR yang bermasalah dengan hukum, memaksa, menyandera, dan memperkarakan pihak-pihak yang tidak memenuhi undangan DPR, hingga bisa menolak orang yang akan memberikan keterangan di DPR.

Baca juga: UU MD3 Dinilai Jauhkan DPR dari Kritik Terkait Korupsi

"DPR juga telah menyulap MKD dari sebelumnya sebagai penegak etik DPR menjadi lembaga pelindung DPR dari proses hukum," kata Hendardi.

Hendardi mengatakan, proteksi yang overdosis dalam regulasi tersebut menggambarkan bahwa revisi UU tersebut penuh kompromi. 

Menurut dia, saat demokrasi Indonesia membutuhkan penguatan partisipasi publik akibat maraknya korupsi dan menguatnya diskursus kontra demokrasi, DPR justru melakukan blunder politik dengan memperkuat imunitas politiknya melalui revisi UU MD3.

Baca juga: UU MD3 Dinilai Tak Sejalan dengan Sikap Jokowi

"DPR telah membangun tembok tebal yang semakin menjauhkan lembaga perwakilan dari publik yang diwakili, sekaligus membuka jalan menuju kelembagaan DPR yang lebih koruptif," kata Hendardi.

Hendardi menganggap UU MD3 mengonfirmasi bahwa salah satu problem serius stagnasi bahkan menurunnya kualitas demokrasi adalah kegagalan parlemen dalam mereprentasikan kehendak dan kepentingan rakyat.

"Perlu ada konsolidasi masyarakat sipil untuk melawan UU MD3 demi menyelamatkan demokrasi Indonesia dari kemunduran besar justru di usianya yang memasuki dua dekade ini," kata dia.

Kompas TV Padahal sebelumnya, keinginan para politisi senayan untuk merevisi undang-undang MD3 menuai pro dan kontra.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

Nasional
Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

Nasional
Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

Nasional
Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com