JAKARTA, KOMPAS.com - Penolakan warganet terhadap Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terus berlanjut.
Dalam waktu 24 jam sejak diluncurkannya petisi “Tolak Revisi UU MD3, DPR Tidak Boleh Mempidanakan Kritik” di Change.org, sudah lebih dari 117.000 tanda tangan menyatakan dukungan.
Jumlah dukungan itu masih terus bertambah. Pantauan Kompas.com di situs change.org/tolakuumd3, Kamis (15/2/2018), pukul 16.40 WIB, petisi ini sudah mendapat 117.941 tanda tangan.
Menurut Campaign Manager Change.org Indonesia, Denok, petisi ini termasuk salah satu petisi yang sangat cepat mendapatkan respons dari warganet.
Baca juga: UU MD3 Dinilai Jauhkan DPR dari Kritik Terkait Korupsi
“Ini termasuk petisi terbesar tahun ini. Ramainya suara penolakan warganet terhadap UU MD3 ini juga menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap keputusan yang dibuat DPR yang mereka anggap antikritik," kata Denok, melalui keterangan tertulisnya, Kamis sore.
Petisi ini digagas oleh berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi UU MD3, antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, Yappika, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan FITRA.
Dalam petisi tersebut, koalisi ini menyoroti tiga pasal yang ada dalam UU MD3.
Pertama, Pasal 122 huruf k, di mana Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Baca juga: UU MD3 Dikecam Publik, Agung Laksono Anggap Kurang Sosialisasi
Pembuat petisi menilai, pasal ini adalah upaya untuk membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR.
DPR seakan menjadi lembaga yang otoriter. Sebanyak 250 juta warga terancam dengan peraturan ini, apalagi jelang pilkada dan pilpres.
"Mau bentuknya seperti meme Setnov dulu, ataupun tweet, bahkan dikutip di media sekali pun bisa kena," tulis pembuat petisi.
Kedua, pembuat petisi juga mempermasalahkan Pasal 73 yang mewajibkan polisi membantu memanggil paksa pihak yang tak memenuhi panggilan DPR. Pemanggilan paksa ini termasuk terhadap Pimpinan KPK yang sebelumnya bukan menjadi kewenangan DPR.
"Langkah ini bisa menjadi intervensi DPR terhadap proses pemberantasan korupsi di KPK," demikian tertulis dalam petisi tersebut.
Baca juga: Menyelami UU MD3, Di Mana Logikanya?
Ketiga, pembuat petisi juga menyoroti Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.
Pasal ini diyakini dapat menghambat pemberantasan korupsi dengan semakin sulitnya memeriksa anggota DPR yang diduga melakukan korupsi.