Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalam 24 Jam, Petisi Tolak Revisi UU MD3 Tembus 117.000 Dukungan

Kompas.com - 15/02/2018, 16:49 WIB
Ihsanuddin,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Penolakan warganet terhadap Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terus berlanjut.

Dalam waktu 24 jam sejak diluncurkannya petisi “Tolak Revisi UU MD3, DPR Tidak Boleh Mempidanakan Kritik” di Change.org, sudah lebih dari 117.000 tanda tangan menyatakan dukungan.

Jumlah dukungan itu masih terus bertambah. Pantauan Kompas.com di situs change.org/tolakuumd3, Kamis (15/2/2018), pukul 16.40 WIB, petisi ini sudah mendapat 117.941 tanda tangan.

Menurut Campaign Manager Change.org Indonesia, Denok, petisi ini termasuk salah satu petisi yang sangat cepat mendapatkan respons dari warganet.

Baca juga: UU MD3 Dinilai Jauhkan DPR dari Kritik Terkait Korupsi

“Ini termasuk petisi terbesar tahun ini. Ramainya suara penolakan warganet terhadap UU MD3 ini juga menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap keputusan yang dibuat DPR yang mereka anggap antikritik," kata Denok, melalui keterangan tertulisnya, Kamis sore.

Petisi ini digagas oleh berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi UU MD3, antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW), Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, Yappika, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan FITRA.

Dalam petisi tersebut, koalisi ini menyoroti tiga pasal yang ada dalam UU MD3.

Pertama, Pasal 122 huruf k, di mana Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Baca juga: UU MD3 Dikecam Publik, Agung Laksono Anggap Kurang Sosialisasi

Pembuat petisi menilai, pasal ini adalah upaya untuk membungkam masyarakat yang ingin mengkritik DPR.

DPR seakan menjadi lembaga yang otoriter. Sebanyak 250 juta warga terancam dengan peraturan ini, apalagi jelang pilkada dan pilpres.

"Mau bentuknya seperti meme Setnov dulu, ataupun tweet, bahkan dikutip di media sekali pun bisa kena," tulis pembuat petisi.

Kedua, pembuat petisi juga mempermasalahkan Pasal 73 yang mewajibkan polisi membantu memanggil paksa pihak yang tak memenuhi panggilan DPR. Pemanggilan paksa ini termasuk terhadap Pimpinan KPK yang sebelumnya bukan menjadi kewenangan DPR.

"Langkah ini bisa menjadi intervensi DPR terhadap proses pemberantasan korupsi di KPK," demikian tertulis dalam petisi tersebut.

Baca juga: Menyelami UU MD3, Di Mana Logikanya?

Ketiga, pembuat petisi juga menyoroti Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.

 Pasal ini diyakini dapat menghambat pemberantasan korupsi dengan semakin sulitnya memeriksa anggota DPR yang diduga melakukan korupsi.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Tawaran Posisi Penting untuk Jokowi Setelah Tak Lagi Dianggap Kader oleh PDI-P

Nasional
Diminta Mundur oleh TKN, Berikut 6 Menteri PDI-P di Periode Kedua Jokowi

Diminta Mundur oleh TKN, Berikut 6 Menteri PDI-P di Periode Kedua Jokowi

Nasional
Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasdem Tunggu Jawaban Anies Soal Tawaran Jadi Cagub DKI

Nasional
Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Minimalisasi Risiko Bencana Alam, DMC Dompet Dhuafa dan BNPB Tanam 1.220 Bibit Pohon di Bandung Barat

Nasional
Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Syaikhu Sebut Koalisi atau Oposisi Itu Kewenangan Majelis Syuro PKS

Nasional
Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Jokowi Tak Lagi Dianggap Kader, PDI-P: Loyalitas Sangat Penting

Nasional
PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

PPP Buka Peluang Usung Sandiaga Jadi Cagub DKI

Nasional
Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Joman: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Joman: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com