JAKARTA, KOMPAS.com — Kementerian Dalam Negeri menanggapi usulan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ingin ada e-KTP khusus bagi warga penghayat kepercayaan. Nantinya, di dalam e-KTP tersebut dicantumkan kolom kepercayaan tanpa ada kolom agama.
"Kalau secara teknis tidak ada e-KTP baru. Blangkonya tetap sama. Kami tinggal menyesuaikan saja diaplikasinya. Tidak ada e-KTP bentuk baru. Bentuknya tetap sama," ujar Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakhrullah melalui pesan singkat, Sabtu (20/1/2018).
Zudan menerangkan, terkait dengan usulan MUI tersebut, pihaknya jauh hari telah melakukan kajian dan hasilnya sudah dilaporkan ke Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
"Hasil kajian berisi empat alternatif, salah satunya seperti usulan MUI tersebut," kata Zudan.
Baca juga: MUI Usulkan e-KTP Khusus bagi Penghayat Kepercayaan
Saat ini pihaknya tengah menunggu keputusan dari hasil kajian yang diserahkan ke Menko Polhukam tersebut.
"Semua sedang digodok di Menko Polhukam. Mendagri sudah menyampaikan kajian tersebut. Sekarang menunggu keputusan lebih lanjut dari Pak Menko Polhukam," katanya.
Sebagaimana diketahui, pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perkara nomor 97/PPU-XIV/2016, status penghayat kepercayaan dapat dicantumkam dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu tanda penduduk elektronik tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut.
Namun, MUI tak justru menyayangkan putusan MK tersebut. MUI pada akhirnya usul agar ada e-KTP untuk warga penghayat kepercayaan.
Baca juga: Pemerintah Didesak Realisasikan Putusan MK soal Penghayat Kepercayaan
MUI menganggap, e-KTP dengan kolom khusus bagi warga penghayat kepercayaan adalah solusi terbaik dalam melaksanakan putusan MK. Sebab, MUI memandang agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang berbeda.
MUI pun mendorong pemerintah segera merealisasikan usulan tersebut agar hak sipil warga penghayat kepercayaan bisa dipenuhi.
Meski demikian, MUI menampik anggapan bahwa usulan tersebut bersifat diskriminatif.
Adanya perbedaan antara isi KTP elektronik untuk umat beragama dan penghayat kepercayaan bukanlah diskriminasi, melainkan bentuk perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda.