Supriyadi tidak menyanggah pendapat sebagian besar masyarakat yang menilai perbuatan zina, berdasarkan norma sosial dan agama, adalah perbuatan tercela.
Meski demikian ia berpendapat, tidak semua perbuatan tercela perlu dikategorikan sebagai tindak pidana.
Ia menegaskan bahwa hukum pidana tidak bisa diposisikan sebagai solusi dalam membenahi persoalan sosial, melainkan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir, jika institusi sosial seperti lembaga pendidikan tak lagi berfungsi.
"Iya memang kalau dilihat dari norma agama perbuatan zina itu salah, di agama manapun. Tapi ini hukum pidana persoalannya. Hukum pidana seharusnya menjadi langkah terakhir atau ultimum remedium. Tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama itu otomatis menjadi suatu tindak pidana," kata Supriyadi.
(Baca juga : Mahfud MD: Yang Kurang Paham, Menuduh MK Perbolehkan Zina dan LGBT)
"Misalnya kita memaki orang tua, apakah otomatis itu perbuatan pidana, masuk penjara? karena semua agama menyatakan kalau tidak hormat pada orang tua adalah sebuah dosa.
Syarat Khusus
Menurut Supriyadi, dalam merumuskan suatu tindak pidana harus ada syarat-syarat khusus yang harus dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. Ia menegaskan bahwa harus ada pertimbangan dalam merumuskan tindak pidana baru.
"Harus ada pertimbangan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Seperti dalam putusan MK kemarin, Harus ada pertimbangan yang jelas dalam mengatur suatu tindak pidana baru. Bukan hanya karena semangat golongan," ujar Isnur.
Dalam putusannya MK mencantumkan hasil Simposium Pembaruan Hukum Nasional di Semarang pada bulan Agustus 1980 yang menyatakan, untuk menetapkan kebijakan kriminalisasi perlu diperhatikan kriteria umum.
(Baca juga : Larangan Menikahi Teman Sekantor Dianggap Buka Celah Terjadi Zina)
Pertama, apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau dapat mendatangkan korban.
Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
Ketiga, apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.
Keempat, apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
"Pemidanaan seharusnya sesuai dengan dokrin-doktrin yang tercantum dalam putusan MK," kata Isnur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.