Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Hubungan Seksual di Luar Pernikahan Perlu Dipidana?

Kompas.com - 19/12/2017, 06:58 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi tiga pasal terkait kejahatan kesusilaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menuai reaksi beragam dari masyarakat.

Tuduhan melegalkan zina yang disebabkan ketidakpahaman atas putusan MK itu beredar di media sosial.

MK sendiri telah memberikan penjelasan bahwa majelis hakim tidak memiliki kewenangan untuk membentuk norma hukum pidana baru.

Dalam konteks uji materi pasal 284 KUHP, pemohon meminta MK menafsikan perbuatan zina yang dilakukan dua orang tanpa ikatan perkawinan atau hubungan seksual di luar nikah dapat dipidana.

Artinya secara substansial, pemohon meminta MK merumuskan tindak pidana baru yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang, yakni Presiden dan DPR.

(Baca juga : Alasan MK Tolak Permohonan Uji Materi Pasal Kesusilaan di KUHP)

 

Sebenarnya perbuatan yang dinilai tercela dalam norma sosial dan agama di Indonesia perlu dikategorikan sebagai tindak pidana atau tidak?

Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, dalam pembahasan revisi KUHP di DPR, perluasan pasal zina juga masih menjadi perdebatan antar-fraksi.

Sejumlah fraksi mendorong agar perbuatan zina, meski dilakukan atas dasar suka sama suka, dapat dipidana.

Namun menurut Supriyadi, jika ketentuan tersebut disetujui justru akan memperumit tatanan hukum pidana. Sebab tindakan yang dapat dipidana mensyaratkan adanya korban.

"Kalau konteksnya zina atas dasar suka sama suka, siapa korbannya? Kalau misalnya ketentuan zina diperluas maka harus jelas siapa yang dirugikan. Nah ini yang menjadi perdebatan.  Apakah misalnya ada dua orang yang melakukan zina tanpa dasar paksaan, maka siapa yang dirugikan? Di dalam konteks inilah saya melihat betapa kompleksnya jika pasal zina ini diperluas," ujar Supriyadi saat dihubungi, Senin (18/12/2017).

 

Delik Aduan

Di sisi lain, lanjut Supriyadi, jika pasal zina diperluas maka hal itu akan menghilangkan sifat delik aduan.

(Baca juga : Penjelasan MK soal Tuduhan Putusan yang Melegalkan Zina dan LGBT)

 

Dengan demikian aparat negara memiliki kewenangan untuk melakukan proses hukum tanpa ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan atas suatu perbuatan zina.

Implikasinya, negara berhak mengintervensi ranah privat seluruh warga negaranya.

"Jadi kalau delik aduan hilang maka kewenangan terbesar adalah kewenangan penegakan hukum. Ada intervensi luar biasa dari aparat penegak hukum," tuturnya.

Supriyadi tidak menyanggah pendapat sebagian besar masyarakat yang menilai perbuatan zina, berdasarkan norma sosial dan agama, adalah perbuatan tercela.

Meski demikian ia berpendapat, tidak semua perbuatan tercela perlu dikategorikan sebagai tindak pidana.

Ia menegaskan bahwa hukum pidana tidak bisa diposisikan sebagai solusi dalam membenahi persoalan sosial, melainkan sebagai ultimum remedium atau upaya terakhir, jika institusi sosial seperti lembaga pendidikan tak lagi berfungsi.

"Iya memang kalau dilihat dari norma agama perbuatan zina itu salah, di agama manapun. Tapi ini hukum pidana persoalannya. Hukum pidana seharusnya menjadi langkah terakhir atau ultimum remedium. Tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama itu otomatis menjadi suatu tindak pidana," kata Supriyadi.

(Baca juga : Mahfud MD: Yang Kurang Paham, Menuduh MK Perbolehkan Zina dan LGBT)

 

"Misalnya kita memaki orang tua, apakah otomatis itu perbuatan pidana, masuk penjara? karena semua agama menyatakan kalau tidak hormat pada orang tua adalah sebuah dosa.

 

Syarat Khusus

Menurut Supriyadi, dalam merumuskan suatu tindak pidana harus ada syarat-syarat khusus yang harus dipertimbangkan oleh pembuat undang-undang.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. Ia menegaskan bahwa harus ada pertimbangan dalam merumuskan tindak pidana baru.

"Harus ada pertimbangan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Seperti dalam putusan MK kemarin, Harus ada pertimbangan yang jelas dalam mengatur suatu tindak pidana baru. Bukan hanya karena semangat golongan," ujar Isnur.

Dalam putusannya MK mencantumkan hasil Simposium Pembaruan Hukum Nasional di Semarang pada bulan Agustus 1980 yang menyatakan, untuk menetapkan kebijakan kriminalisasi perlu diperhatikan kriteria umum.

(Baca juga : Larangan Menikahi Teman Sekantor Dianggap Buka Celah Terjadi Zina)

 

Pertama, apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau dapat mendatangkan korban.

Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.

Ketiga, apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.

Keempat, apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.

"Pemidanaan seharusnya sesuai dengan dokrin-doktrin yang tercantum dalam putusan MK," kata Isnur.

Kompas TV Meski sempat ditolak oleh kantor urusan agama setempat namun kedua orangtua anak ini sepakat untuk menikahi keduanya lantaran takut berbuat zina.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Nasional
Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com