JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengusulkan ada KTP khusus bagi penganut aliran penghayat kepercayaan di Indonesia. Usulan MUI tersebut berdasarkan hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III MUI) 2017.
"Pemerintah dapat mencetak KTP yang hanya mencantumkan kolom aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan jumlah kebutuhan warga penghayat kepercayaan," kata Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/11/2017).
Tak hanya itu, MUI juga usul agar identitas penganut aliran penghayat kepercayaan di dalam negeri juga dicantumkan dalam Kartu Keluarga (KK).
"Pemerintah dapat melakukan pencantuman identitas penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada Kartu Keluarga (KK)," ujar Zainut.
Baca juga : Pemenuhan Hak Penghayat Kepercayaan, Menghidupkan Keberagaman...
Meski usul para penganut aliran penghayat kepercayaan di tanah air bisa punya KTP khusus dan identitasnya tercantum di KK. Namun MUI juga menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor perkara 97/puu-XIV/2016 tentang penghayat kepercayaan.
"Putusan tersebut kami nilai kurang cermat dan melukai perasaan umat beragama khususnya umat Islam Indonesia karena putusan tersebut berarti telah menyejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan," ujar dia.
Menurut MUI, putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan serta merusak terhadap kesepakatan kenegaraan yang selama ini sudah berjalan dengan baik.
Baca juga : Soal Penghayat Kepercayaan, Kemendagri Masih Serap Sejumlah Aspirasi
"MK dalam mengambil keputusan memiliki dampak strategis, sensitif, dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Perlu membangun komunikasi dan menyerap aspirasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat dan pemangku kepentingan sehingga dapat mengambil keputusan secara obyektif, arif, bijak, dan lebih aspiratif," kata dia.
MUI juga menengaskan bahwa menghormati perbedaan agama, keyakinan dan kepercayaan setiap warga negara. Karena hal tersebut merupakan implementasi dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"MUI sepakat bahwa pelaksanaan pelayanan hak-hak sipil warga negara di dalam hukum dan pemerintahan tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi sepanjang hal tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ucap Zainut.