JAKARTA, KOMPAS.com - Carles Butar Butar (17 tahun) bercita-cita menjadi seorang polisi setelah lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan di Balige, Sumatera Utara.
Tekadnya yang kuat membuat Carles berusaha keras mewujudkan angannya itu.
Kata guru di sekolahnya, nilai seluruh mata pelajaran Carles tidak buruk. Badannya yang tegap dan kebiasaan berdisiplin di rumah maupun sekolah bisa menjadi modal Carles untuk mengikuti jejak sang kakek yang berprofesi sebagai polisi.
Namun, ada satu hal yang dapat menggagalkan langkah remaja Batak itu meraih cita-citanya, yakni status Carles sebagai penganut Ugamo Malim atau seorang Parmalim.
Kisah Carles dalam film dokumenter "Ahu Parmalim" karya Cicilia Maharani dari Yayasan Kampung Halaman, mungkin juga dialami oleh ribuan remaja penghayat kepercayaan di Indonesia.
Baca juga: Sebetulnya, Berapa Jumlah Penghayat Kepercayaan di Indonesia?
Bertahun-tahun berjuang untuk diakui sebagai warga negara, akhirnya membuahkan hasil setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 terkait ketentuan pengisian kolom agama di Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga bagi warga penghayat kepercayaan.
Sebelumnya, kolom agama pada KTP dan KK warga penghayat kepercayaan tidak diisi atau dikosongkan.
Perbedaan ketentuan pengisian kolom agama tersebut menimbulkan diskriminasi terhadap warga penghayat dalam memenuhi hak dasar sebagai warga negara, salah satunya dalam mendapatkan pekerjaan.
Tidak sedikit warga penghayat yang tidak bisa mendaftar sebagai PNS dan anggota TNI-Polri karena kosongnya kolom agama di KTP mereka.
Atau, alasan lain, kepercayaan yang mereka anut tidak termasuk dalam enam agama yang diakui oleh negara.
Baca juga: Pekerjaan Rumah Menanti setelah Pengakuan pada Penghayat Kepercayaan
Oleh karena itu, MK memutuskan kata "agama" dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Akademisi Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menegaskan, dengan adanya keputusan MK tersebut, maka negara harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar warga penghayat kepercayaan.
Pasalnya, implementasi putusan MK di tingkat daerah belum tentu sama dengan di tingkat pusat.
"Yang paling penting adalah tindak lanjut dari putusan MK itu. Seringkali pembuat regulasi membuat peraturan yang bertentangan dengan putusan MK," ujar Bivitri dalam sebuah diskusi bertajuk 'Putusan MK Tentang Penghayat, Babak Baru Toleransi', di Lounge STHI Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (28/11/2017).