JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mempertanyakan langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang memasukkan Ketua DPR Setya Novanto ke daftar pencarian orang.
"Mau dicari di mana? Orangnya ada, kok. Orangnya ada di rumah sakit dan dijaga, katanya. Rumah sakitnya ada polisinya segala," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (17/11/2017).
"Kecuali orangnya hilang. Ya, ini orangnya ada," sambung dia.
(Baca juga: Mobil dalam Kecepatan Tinggi, Hanya Setya Novanto yang Terluka)
Fahri menilai langkah KPK tidak tepat. Ia mencontohkan, hal itu seperti orang yang sedang mencari-cari pulpen miliknya, padahal pulpennya dipegang tangannya sendiri.
"Jadi gila, dong? Barang ada, (tapi) nyari. Bagaimana?" kata anggota DPR dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Fahri menilai langkah KPK memasukkan Novanto ke dalam daftar pencarian orang (DPO) untuk membuat institusinya tampak angker.
KPK, kata Fahri, menciptakan opini seolah situasi ini sangat gawat. Padahal, pada kasus e-KTP, KPK masih belum bisa membuktikan dugaan kerugian negara yang disebut mencapai Rp 2,3 triliun itu.
(Baca juga : Polisi Gandeng Toyota Cek Fortuner yang Bawa Setya Novanto)
Ia mencontohkan kasus Pelindo II, di mana mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino ditetapkan sebagai tersangka yang besaran kerugian negaranya sudah terbukti. Namun, tak ada kejelasan terhadap kelanjutan kasus tersebut.
"Sampai sekarang perhitungan kerugian negara akibat kasus e-KTP Rp 2,3 triliun dia enggak lakukan. BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) secara resmi sudah mengatakan enggak ada," katanya.
KPK menetapkan kembali Novanto sebagai tersangka pada Jumat (10/11/2017). Novanto sebelumnya lolos dari status tersangka dalam penetapan sebelumnya setelah memenangi gugatan praperadilan terhadap KPK.
Dalam kasus ini, Novanto bersama sejumlah pihak diduga menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dan dua mantan pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.
Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Akibat perbuatannya bersama sejumlah pihak tersebut, negara diduga dirugikan Rp 2,3 triliun pada proyek senilai Rp 5,9 triliun tersebut.